Pagi itu, aku sudah berdiri di depan kantor BATARA bersama Vivi. Berpakaian rapi dan siap untuk masuk ke dalam. Kantornya besar. Kami masuk tanpa hambatan dan melihat ada resepsionis dan beberapa kursi tunggu seperti kantor pada umumnya. Aku mendekat ke resepsionis dan bertanya, “Pak Narto-nya ada, mbak? Saya Siang ada janji dengan beliau.”
“Oh, Pak Nar-nya belum datang, tapi biasanya sebentar lagi beliau datang. Silahkan ditunggu saja mas, mungkin beberapa menit lagi Pak Nar datang.”
“Iya mbak,” aku menuju kursi tunggu, duduk bersama Vivi yang ada di sebelahku. Kantor itu memiliki suasana yang biasa pada umumnya, dinginnya ac, area agak luas di lobby, banyak yang kosong dan suasana hening. Tapi suasana itu pecah ketika ada seseorang yang datang. Seorang gadis, berambut coklat pendek seleher. Sepertinya aku mengenalnya.
Itu Manis Kirani dari ingatan Pak Narto. Benar, dia memiliki kekuatan pendengaran. Mungkin yang mereka maksud adalah pendengaran yang super tajam. Dia mulai menyapa mbak resepsionis seolah mereka sudah akrab. Mungkin Manis memang lebih lama dariku di sini. Aku mulai berhati-hati dengan kata-kata yang akan aku keluarkan. Bisa saja aku berbisik sedikit dan dia mendengarnya. Tapi kewaspadaanku itu hancur karena Vivi berbisik padaku.
“Eh, dia memiliki aura emas,” setelah aku mendengar bisikan Vivi, sepersekian detik Manis langsung menoleh ke arah kami. Dengan tatapan fokus, Manis melotot ke arah Vivi dan berjalan mendekat.
“Kamu bilang apa tadi?” tanyanya untuk meyakinkan. Padahal aku tahu dia pasti sudah mendengar apa yang dikatakan Vivi.
“Eh,” Vivi tampak panik, karena seperti langsung dilabrak orang yang belum dia kenal, “mbaknya punya aura emas.”
“Ayolah, jangan panggil mbak, emang aku setua itu? Tampaknya kita seumuran,” dia ternyata orangnya sangat santai.
Vivi meluruskan tenggorokannya untuk berkata, “kalau begitu perkenalkan aku Victoria, bisa dipanggil Via.” julukan resminya ia keluarkan. Vivi menyodorkan tangannya dan dibalas bahagia oleh Manis.
“Aku Manis,” balasnya sambil tersenyum. Dia memang semanis namanya. Aku hanya melihat mereka saling berkenalan dan tidak mengeluarkan nada. Kekuatan dari Manis sangatlah hebat. Vivi hanya berbisik lirih padaku langsung ia dengar dengan cepat. Aku rasa aku harus bersiap dengan kejutan kekuatan yang dimiliki oleh anggota BATARA yang lainnya.
“Eh, Manis? Nama yang bagus,” ujar Vivi dengan ramah.
“Tadi kamu bilang aku mempunyai aura emas? benarkah?”
“Iya, itu sepenglihatanku, telingamu juga memiliki aura yang terasa sangat lembut namun kuat, sepertinya kamu pandai mendengar, benarkah? Atau kamu suka bermusik?” Gila. Kekuatan Vivi memang hebat. Berpapasan sedikit saja langsung mengetahui detail spesifikasi dari lawan bicaranya.
Manis tersenyum lebar, seakan menemukan orang yang sudah lama tidak berjumpa, “kamu hebat sekali!” dia bersorak riang, “iya, aku memiliki kelebihan dalam mendengar,” kemudian dia melirikku, perhatiannya sekarang tertuju padaku, “kalau di sampingmu Via? Ini adikmu?”
“Hei!” Aku tersinggung dengan perkataan itu, memang wajahku seperti bocah tapi dia tidak seharusnya berkata demikian, “aku pacarnya ya, bukan adiknya.”
“Ouh,” dia tersenyum malu, aku melihat Vivi hanya menahan tawa saja. Kamu tidak mau membelaku apa? Kemudian Manis membenarkan katanya, “maafkan aku, kamu terlihat pendek jadi aku berpikiran kurang tepat,” kata-katanya tetap tidak bisa disandingkan dengan permohonan maafnya.
“Tinggiku sama denganmu kau tahu?” aku berdiri untuk memberitahunya. Dan benar saja. Tinggi kita memang sama.
“Iya, sama, tapi itu bukannya termasuk pendek jika dibanding laki-laki yang lain?”
Aku mengangguk kecil, tidak bisa membalas kata-katanya, “oke, kamu benar,” aku duduk kembali.
Manis terkekeh karena kekalahanku, “maaf ya? Aku orangnya memang suka ceplas ceplos.”
“Iya, tidak apa-apa,” aku hanya mengiyakan dan menghiraukan semua hinaannya dengan senyuman.
“Btw, siapa namamu?” dia menyodorkan tangannya, aku menyalaminya dan melihat sedikit ingatannya.
Manis Kirani, dia gadis yang bukan dari kota ini. Tampaknya dia dari luar kota, terlihat dia tadi pagi keluar dari asrama atau mungkin tempat tinggal yang sudah disediakan oleh pihak BATARA. Dia hanya berjalan kaki dari sana sampai ke sini, sepertinya tempat singgahnya dekat dari sini. Singkat saja. Aku tidak dapat melihatnya lebih dalam karena durasi saat kami bersalaman cukup cepat.
“Aku Siang.”
“Siang?” dia tampak heran dengan nama yang kurang wajar, “sepertinya tambah lagi nama aneh dalam tim ini.”
“Apa maksudmu?”
“Kamu kemari untuk bergabung dengan BATARA kan?”
“Iya.”
“Ikut aku,” Manis mengajak kami masuk dan saat berjalan berpapasan pada resepsionis dia menyampaikan pesan, “mbak, kalau Pak Nar sudah datang, bilangin kalau tamunya uda masuk di ruangan meeting ya?” Mbak resepsionis pun mengangguk. Kami berjalan menyusuri lorong dengan banyak ruangan di sekitarnya, dinding kaca buram sebagai pintunya. Sembari berjalan Manis bertanya sesuatu kepadaku, “lalu Siang? apa kelebihanmu?”
Mulailah interogasi, “aku tidak mempunyai kekuatan,” aku mencoba tidak mengungkapkannya untuk jaga-jaga. Meski Vivi di sampingku memandangiku dengan rasa bersalah. Dia tampaknya menginginkanku jujur. Tapi aku memang orang yang susah untuk percaya.
Manis berhenti. Kami pun ikut berhenti. Dia berbalik dan menatapku lalu menyipitkan mata curiga, “kau berbohong!”
Aku sedikit terkejut. Kenapa dia bisa tahu? “bagaimana kau bisa berkata seperti itu?”
“Aku bisa mendengar detak jantung seseorang, jadi saat kau berbohong aku bisa langsung mengetahuinya.”
Jelasnya membuatku lebih waspada. Sialan, dia pendeteksi kebohongan seperti Vivi. Memang kekuatan mereka sepertinya tidak adil. Aku hanya meringis mendengarnya berkata. Lalu Vivi membuka mulut untukku, “dia bisa membaca ingatan seseorang melalui sentuhan.”
What! Vivi membocorkan semuanya secara langsung. Tanpa basa-basi atau menunda untuk mencari kesempatan. Lagi pula mereka bisa saja berbuat yang tidak-tidak. Aku menoleh ke arah Vivi dan berekspresi seperti berkata ‘apa yang kamu lakukan?’ Tapi dia mengedikkan bahu seolah acuh dan berkata ‘memangnya kenapa?’
“Wow,” sekarang Manis yang terkejut mendengar hal itu, dia menjauhkan tangannya dariku lalu mendekapnya di dada, “kau sudah melihat apa saja dari ingatanku?”
“Tidak,” aku menolaknya, “aku tidak melihat apapun,” dengan jawaban itu aku langsung diteror dengan 2 tatapan yang kejam. Mereka tahu kalau aku berbohong. Astaga, aku tidak bisa sedikitpun berkutik.
“Kenapa kamu selalu berbohong?” tanya Manis.