Jam makan siang pun tiba. Kami berjalan menuju pantri yang dituntun oleh Manis. Dia kedepan dulu untuk mengajak mbak resepsionis makan. Vivi mengikuti Manis ke depan. Sembari menunggu mereka, aku menggunakan kesempatan itu untuk bertanya mengenai kasus Ethan kepada Toni.
“Toni,” panggilku, “aku melihat kasus Rosa sudah di update di laman berita menjadi pembunuhan dan tampangmu muncul sebagai pemecah kasus itu, tapi kasus Ethan masih belum ada update. Apakah ada kendala?” mungkin cara bicaraku tidak terlalu kupelankan di sana. Aku tidak terlalu waspada apabila Manis menguping. Ini hanya kasus pembunuhan dan ini waktu yang tepat karena berada di markas BATARA.
“Iya, aku sudah memberikan semua barang bukti kepada Pak Nar. Tapi beliau tampaknya belum percaya karena misteri pintu slot terkunci dari dalam masih belum terpecahkan,” balasnya membuatku sadar aku belum menjelaskan teknik itu.
“Benarkah?,” aku sebenarnya tidak percaya, memang aku belum memberitahukan bagaimana teknik yang dilakukan Parman tapi alat suntik dan surat perintah itu menurutku sudah cukup kuat untuk bukti, “oke, terima kasih bantuanmu Toni, untuk kasus itu biar aku yang langsung ke Pak Narto.”
Kemudian Manis, Vivi, dan mbak resepsionis datang, mereka mengajak kami bersama makan di Pantri. Di sana ada tempat masak dan satu meja yang agak besar bisa muat sampai 6 orang. Kami makan nasi kotak yang sudah dipesankan. Aku memperkenalkan diri dengan mbak resepsionis itu, dia bernama Ria. Sambil makan kami ngobrol sedikit mengenai BATARA.
Aku membuka obrolan, “Sweety, bagaimana kamu bisa mengenal BATARA?” tanyaku pada Manis. Lalu sikap cemberut Vivi masih terlihat saat dia mengunyah makan, “Iya-iya, aku panggilnya Kiran aja gimana?”
Vivi menelan makanannya, “nggak, terserah kamu,” dia ngambek. Aku menahan tawa yang lainnya pun terlihat gemas melihat kami berdua.
“Kasihan loh, dia ngambek beneran nanti, minta maaf sana!” saran Manis padaku.
“Iya, maaf ya?” aku meminta maaf pada Vivi menuruti saran Manis. Dia tidak menggubrisku, “nanti aku ulangi lagi dah, gimana?” eh, aku salah bicara, “maksudku nggak aku ulangi lagi,” aku tersenyum manis memandangnya, tapi dia hanya melirikku dengan kesal sambil menyendok makanannya.
“Udahlah ya?” kataku mengakhiri urusan Vivi, “btw, Manis, tadi bagaimana kamu bisa mengenal BATARA?”
“Mereka yang mendatangiku di rumah,” jawab Manis.
“Bagaimana mereka bisa tahu?”
“Aku juga kurang mengerti,” jawabnya enteng. Tampaknya aku harus memutar otakku lagi untuk memecahkan masalah itu. Karena sangat tidak masuk akal apabila mereka membutuhkan Vivi sebagai pelacak orang berkemampuan sedangkan mereka bisa langsung tahu dan mendatangi rumah Manis.
“Mbak Ria tahu bagaimana mereka bisa langsung menghampiri rumah Manis?” tanyaku pada mbak resepsionis, tapi tampangnya kurang meyakinkan dengan pertanyaanku.
“Nggak tahu mas, saya cuma resepsionis, nggak pernah tahu soal begituan,” sudah kuduga. Aku masih clueless. Memikirkan suatu cara agar dapat memahaminya.
Kemudian notifikasi ponselku berdering, post twitter terpampang di layar. Kemudian aku teringat. Twitter. Apa benar mereka menggunakan twitter?
“Manis, kamu aktif menggunakan twitter?” tanyaku sekali lagi.
“Iya, aku lumayan sering nge-tweet maupun re-tweet“
“Pasti itu.”
Mereka bingung apa yang aku utarakan. Bahkan Toni tidak menebak apa yang aku bicarakan.
“Kalian pernah melihat trending twitter tentang Sabdopalon dan Nayagenggong kan?” pancingku dengan pertanyaan berharap ada yang bisa kena.
“Oh,” Vivi menyadari sesuatu, “saat pertama kali kita bertemu, itu sempat trending, iya aku ingat.”