Setelah rapat penempatan itu selesai kami diharapkan bersiap dan akan berangkat besok ke Jakarta untuk menempuh pelatihan, khususnya untuk aku dan Manis, karena kami akan berhadapan dengan mafia yang kejam. Itu akan menjadi bekal kami ke depan.
Hari sudah mulai sore dan kami membubarkan diri. Tapi setelah itu aku menyuruh Vivi untuk menunggu di ruang tunggu dulu. Aku harus menemui Pak Narto untuk urusan kasus Ethan. Aku menghampiri ruangannya, mengetuk pintu dan tidak ada jawaban. Mbak Ria lewat di lorong itu dan memberitahuku, “jika ingin memanggil Pak Nar gunakan tombol yang di samping gagang pintu. Ruangan itu kedap suara jadi kamu perlu menekannya,”
“Terima kasih, mbak,” ruangan kedap suara? Tampaknya Pak Narto tidak ingin rahasianya terdengar oleh Manis. Apa-apaan ini? Pak Narto mempunyai rahasia yang ingin dia simpan sendiri. Mungkin rahasia negara tentunya. Tapi hal itu cukup membuatku curiga. Aku tidak boleh cepat mengambil kesimpulan. Siapa tahu pendengaran Manis bisa menembus ruangan ini. Aku belum memastikannya.
Aku menekan tombol itu, seperti bel rumah yang ada di depan pintu. Kemudian pintu terbuka dengan sendirinya. Aku masuk ke dalam ruangan tersebut. Ruangan itu sudah dilapisi peredam dan tampak beberapa dokumen berada di rak dan bertumpuk di meja Pak Nar.
“Ada apa Siang?” tanyanya santai.
“Saya ingin membahas mengenai kasus pembunuhan yang saya pecahkan pak.”
“Oh, mengenai Rosa?” dia mengetahuinya, sudah pasti dari Toni.
“Tidak, mengenai Ethan,” ekspresinya tidak kaget maupun curiga, sepertinya Pak Nar sudah memprediksi ini.
“Oh, Ethan, kasus overdosis itu? Toni sempat datang kepadaku dan memberikan bukti-buktinya,” aku masih kesal dengan kata ‘kasus overdosis’ membuatku mengerutkan dahi.
“Benar, tapi kenapa kasus itu belum terupdate di laman-laman berita?”
“Kami perlu waktu Siang, apa lagi dengan segala yang kita urus, itu cukup banyak,” aku tidak puas dengan jawaban yang dia katakan.
“Apakah bapak tidak bisa mempercepat pembaruan kasus Ethan karena teknik slot itu?” aku bertanya sesuai apa yang Toni bilang tadi.
“Iya, itu salah satunya,” dia menjawab tapi kurang yakin.
“Bagaimana kalau aku praktekkan untuk membuktikannya?”
“Boleh,” Pak Narto menyetujui, kami berdua masuk ke dalam ruang meeting tadi, pintu ruangan itu terdapat slot seperti yang ada di kasus pembunuhan Ethan maupun Rosa. Aku mencari benang, alat yang fleksibel dan agak kuat. Aku menarik benang yang berada di kemejaku. Ada jahitan yang tidak rapi dibalik kemeja bagian bawah, aku menariknya dan mendapat satu benang yang panjangnya sekitar 40 cm. Setelah kutarik benang itu membuat jahitan bagian bawah kemejaku terlepas. Aku tidak terlalu memperdulikan penampilanku yang sedikit memalukan.
Aku menekuk benang itu menjadi dua bagian yang sama. Bagian tekukan itu aku kaitkan dengan gagang slot yang berada di pintu dan aku menempatkan slot agak ke tengah agar gagangnya tidak turun. Terdapat jarak antara slot dan lubang tujuan yang bisa membuat itu terjadi. Lalu bagian yang lain berupa 2 ujung benang aku masukkan ke dalam lubang lintasan tujuan slot. Aku yang berada di luar ruangan mempraktekkan itu sempat dilihat mbak Ria aneh, tapi tidak aku hiraukan. Pak Narto yang berada di dalam memperhatikan dengan seksama.
Aku melewatkan 2 ujung benang itu keluar dan menutup pintu. Dengan sela-sela pintu yang longgar, 2 ujung benang itu bisa aku tarik dan slot pun masuk sempurna. Aku hanya perlu menarik 1 ujung benang yang lain dan aku bisa mendapatkan benang itu dan menghilangkan benang sebagai barang bukti. Trik yang simple.
Pak Narto membuka slot itu dan bertanya, “lalu bagaimana jika slot itu tidak memiliki jarak agar gagang slot tidak turun?”