Janji Nusantara

simson rinekso
Chapter #24

Bab 24 : Misi

Waktu dan keadaan membuatku semakin kritis menghadapi sesuatu. Banyak hal yang terjadi diantara aku dan dia. Lima bulan terlalui dengan sangat cepat. Menyelesaikan pelatihan bela diri, tes wawasan, dan mengasah kemampuanku. Sampai aku tersadar sedang berada diposisi tertangkap. Dengan badan berbalik, kedua kakiku dirantai di langit-langit, dan tanganku diikat rapat di belakang punggungku.

Sudah berapa lama aku disini? Tampaknya sebentar, tidak ada cahaya matahari yang menembus ruangan ini. Seharusnya masih beberapa jam setelah aku tertangkap. Ada 1 orang yang masih menjagaku, dia main ponselnya santai. Sampai dia membentak-bentak permainan itu karena pria ini kalah dalam permainan. Dia melihat ke arahku dan sadar bahwa aku sudah siuman.

“Hei, teman-teman, dia sudah bangun!” dia meneriaki kawanannya dan segera datang kemari, aku mendengar langkah kaki beberapa orang menuju kemari.

“Hai,” aku tersenyum menyapanya, “kuharap kau nyaman di penjara ya?”

Dia tidak mengerti dengan apa yang aku maksud, “kenapa ka-,” kata-katanya terpotong setelah menengok ke belakang, pihak aparat sudah berada di belakangnya dan aku tersenyum lebar dengan gigi berdarah.

-

Aku keluar dari bangunan reyot itu dengan tertatih-tatih sambil menenggak air dari botol yang diberikan aparat. Aku menuju mobil untuk mendapat perawatan. Manis datang menghampiriku dengan pakaian lengkap seperti siap berperang dengan senjata.

“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya yang membuat aku berseringai tidak enak.

“Haruskah aku yang jadi umpan? Ini menyebalkan,” keluhku nyata, terlihat dari beberapa memar yang aku dapatkan di wajah dan perutku.

“Semua mafia sudah tahu kehebatanmu, jadi itu hal yang sangat efektif,” aku tetap tidak suka dengan cara ini, membuatku merasakan sakitnya dipukuli.

“Aku tidak akan mau menggunakan cara ini lagi, lebih baik aku berpikir lebih keras untuk mengungkap keberadaannya.”

“Iya, tapi kita kehabisan waktu, kau tahu sendiri.”

“Tetap, aku tidak mau menjadikan diriku umpan,” aku tetap membantah. Ini memang bukan cara yang baik, bisa saja aku mati jika pimpinan mereka psikopat.

“Kalau begitu kau mau menjadikanku umpan? Begitu?” kenapa logikanya selalu melebih-lebihkan sesuatu seperti itu.

“Tentu saja tidak, tidak perlu umpan, aku akan mengambil jalan tengah. Jalan yang lebih baik dari ini. Hanya saja aku perlu waktu, oke?”

“Iya-iya, aku mengerti, tapi untuk sekarang nikmati hasilnya, kau seorang MVP, pekerjaan kita sukses besar, yeah!” Soraknya gembira, tapi aku hanya tersenyum kecut, “ayolah, tersenyumlah dengan ikhlas, senyum!” dia menyuruhku sambil mempraktekkan jari telunjuknya menggerakkan pipinya sendiri.

“Kau tidak lihat ini memar di pipiku? Aku kesulitan untuk tersenyum,” dia malah terkekeh. Aku kadang agak kesal dengan sikap dia tapi seiring berjalannya waktu terkadang aku merasa nyaman, dia dapat membuatku tersenyum meski kesakitan seperti ini.

“Oke, untuk merayakan keberhasilanmu sebagai ‘umpan’, kau menginginkan apa? Aku akan berusaha sebisaku untuk memenuhinya.”

“Benarkah?” aku meyakinkannya kembali dengan nada dan ekspresi nakal.

“Jangan yang aneh-aneh!” Balasnya dengan spontan membuat gelak tawaku terdengar keras.

Aku dan Manis sekarang memang semakin dekat. Karena kerja kami yang mengharuskan kami untuk mengurusi mafia. Hal itu menjadikanku lebih mengenal dia. Bahkan sekarang bisa dibilang aku sudah percaya sepenuhnya dengan dia. Tidak seperti dulu yang selalu menahan kataku saat berbincang. Dia juga tidak sungkan apabila aku memegang tangannya untuk membaca ingatan.

Meskipun itu bagian dari pekerjaan, maksudku agar mempermudah pekerjaan. Kekuatan ekolokasi milik Manis dapat mengenali semua tempat dan lorong persembunyian dan dengan aku membaca ingatan Manis disaat bersamaan, aku juga dapat merasakan kekuatan melihat dengan pendengaran.

Terasa sangat menakjubkan, meski pada awalnya aku sempat merasa kesakitan. Kami berdua mengetes kekuatan itu 3 bulan lalu. Dengan harapan aku dapat merasakan apa yang Manis rasakan agar aku juga cepat untuk menganalisa daripada Manis yang menjelaskan dengan kata-kata yang susah untuk aku mengerti.

Selama 1 minggu aku merasa telingaku kesakitan saat melihat ingatan Manis, tapi lama kelamaan semua dapat aku atasi. Manis selalu memberi aku dukungan pada masa itu. Dia bilang itu mengingatkannya pada awal dia mendapatkan kekuatan. Dia sangat kesakitan dan demam selama 1 minggu juga. Aku dan Manis sepertinya merasakan penderitaan yang sama.

Kami terlalu sering bersama sampai aku semakin renggang dengan Vivi. Vivi sibuk dengan pekerjaan penyelidikannya sendiri. Sering mengurusi berkas dan melihat berbagai macam video CCTV. Dia memiliki ruang sendiri di basecamp untuk bekerja.

Saat aku kembali ke basecamp dengan Manis terdengar suara dari Senja dan Toni. Aku mendekat dengan jalan tertatih yang masih dituntun oleh Manis karena lukaku masih sakit.

“Hai! Kalian sudah kembali?” Sapaku pada mereka. Di ruang tengah yang biasa buat kami berkumpul terlihat ramai sekarang. Senja dan Toni sudah kembali dari Belanda. Dini yang sedang menikmati tehnya berada di lantai dua, bersandar di pembatas kayu sambil melihat kami semua. Vivi dengan berbagai dokumen yang dia bawa hanya memberi senyuman sebentar pada kami dan ucapan selamat datang singkat lalu dia fokus dengan pekerjaannya. Dia melewati kami begitu saja menuju ruangan kerjanya.

Toni melihat sikap Vivi seperti itu kaget, “kenapa dengan kalian? Kukira hubungan kalian romantis.”

“Akhir-akhir ini agak rumit,” jawabku berbisik sungkan.

“Bagaimana dengan Belanda? Apa kalian berhasil mendapatkan artefak?” tanya Manis yang semangat.

“Iya, kami sudah menjalankan misi kami dan mendapatkan artefak yang menakjubkan,” jawab Senja antusias dengan semua itu.

“Artefak tentang apa itu?” Manis sangat penasaran, kurasa dia itu memang sikap defaultnya, selalu merasa penasaran.

“Kesuburan.” jawab Senja dengan nada yang dalam.

“Bagaimana itu? Aku masih belum paham.”

Lihat selengkapnya