Setelah dari interogasi Rojalih aku sendirian masuk ke dalam ruangan Pak Narto tanpa Manis. Di sana tempat yang sama seperti terakhir kali aku menghadap padanya saat di Surabaya. Meja dan kursi di tengah beserta rak buku dan arsip bertumpukan. Ruangan ini empuk, dan kedap suara tentunya. Aku melihat pendingin ruangan menyala menunjukkan angka 19 derajat celcius. Aku kedinginan dengan angka itu. Maklum, orang kampung.
“Pak, saya meminta maaf sebelumnya,” aku hendak melakukan permohonan, “sebelum saya menyampaikan laporan saya, bisakah AC itu dimatikan sebentar saja, saya merasa kedinginan.”
“Oh, benar,” Pak Nar memaklumiku, “kau tidak tahan dingin ya?”
Aku tersenyum sungkan, “benar pak,” dia mematikannya dan meletakkan remot AC di atas meja kerjanya.
“Dimana Manis?”
“Dia mendadak sakit perut dan ke toilet pak, untuk sementara saya akan memberikan laporan ini dan menjelaskannya sendiri.”
“Baiklah kalau begitu, silahkan,” Pak Nar memberi izin untuk aku melanjutkan bicara. Kemudian aku memberikan berkas dan laporan mengenai interogasi Rojalih serta menjelaskan bagaimana detail dan apa saja yang diketahui Rojalih mengenai artefak yang beliau cari. Setelah cukup panjang menjelaskannya tampaknya Pak Narto tidak puas dengan semua itu.
“Sabeni?”
“Benar pak,” kataku mengkonfirmasi Pak Nar yang tampak tidak yakin dengan jawabanku. “Parman telah dibayar untuk membunuh Ardit, yang mana sebagai intel negara dan membawa kembali artefak itu ke tangan Rojalih, kemudian dia menyerahkan artefak itu ke tangan Sabeni.”
Rojalih, adalah mafia yang belum lama ini aku tangkap bersama Manis. Dengan mengorbankan aku sebagai umpan dan itu semua efektif untuk menangkapnya. Aku juga telah membaca ingatan Rojalih dengan seksama. Pak Narto sebenarnya tertarik dengan Rojalih karena bukan sekedar pemimpin mafia, tapi karena dia juga mempunyai artefak nusantara. Dia pernah menggunakannya tapi sekarang dia tidak memilikinya.
“Apa benar bos mafia itu tidak tahu dimana artefak itu sekarang? Apa kau sudah melihatnya dengan teliti?” Pak Narto sangat menyesalkan Rojalih tidak mempunyai artefak itu lagi.
“Sudah pak, dia tidak tahu keberadaan artefak itu sekarang, dia sudah memberikan artefak itu kepada orang kepercayaannya, dia juga tampaknya tidak suka dengan efek samping dari artefak itu,” resiko ini menarik perhatiannya.
“Seperti apa?”
“Efek dari artefak ini hanya sementara, meski kekuatannya dapat membuat pengguna kebal dan mempunyai peningkatan fisik yang signifikan. Artefak ini berbentuk seperti plat, dan hanya menempel pada dada penggunanya dalam waktu satu hari saja. Setelah itu badan pengguna akan merasa sakit yang luar biasa.”
“Untuk informasi Sabeni? Apa yang telah kau lihat dari ingatan Rojalih?”
“Dia tidak tahu pasti lokasinya, hanya mengetahui Sabeni pergi ke Jawa Timur. Apakah ini berarti aku harus kembali ke tempat asalku?”
“Tidak perlu, kau sudah bekerja dengan keras, kau boleh menikmati waktu senggang untuk sejenak, urusan mafia di Jawa Timur juga sudah mudah dilacak sejak penangkapan Tempe,” pengakuan Pak Nar memang benar, kehidupan mafia di sana sudah mudah untuk dikontrol setelah penangkapan Tempe, “Baiklah, terima kasih atas kerjamu yang sangat bagus Siang, kau boleh meninggalkan tempat ini.”
-