Janji Suci

Dudun Parwanto
Chapter #1

Cinta Bersemi di Taman Hati

1.     Cinta Bersemi di Taman Hati

 


 Sore itu langit ibukota mulai bersolek dalam lembayung senja, matahari perlahan menundukkan diri di balik gedung-gedung tinggi. Bunga-bunga sapa tropika bertebaran tumbuh bersemi, menjadi saksi perjumpaan dua insan menjelang senja. Sepasang muda-mudi bertemu untuk membunuh waktu di tengah hijaunya rumput savana. 

         Zulfikar, pemuda dengan rambut sedikit gondrong melempar tasnya ke rerumputan. Zul, panggilan akrab wartawan berusia 27 tahun itu mendorong ayunan dimana seorang gadis jelita duduk manja diatasnya. Itulah gadis pujaannya yang bernama Aisyah, atau disapa Isyah. Gadis itu tampak duduk asyik dengan menikmati maju mundur ayunan sambil sesekali membetulkan kerudungnya. Ada peribahasa yang centil untuk menggambarkan dua insan berlainan jenis itu, “masa kecil kurang bahagia”, hehehe.

           Seperti biasa, setiap Sabtu sore, Zul menjemput Aisyah selepas mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. Sebelum pulang, mereka mampir bermain sebentar di sebuah taman yang cantik. Gadis berusia 24 tahun, menjerit tatkala ayunan terdorong agak kencang. Zul tertawa cekikikan. Dengan berselimut kerudung abu-abu, Aisyah tampak anggun dan balutan batik hijau, seragamnya sebagai tenaga pengajar pendidikan sekolah Islam. Perempuan lulusan Pondok pesantren Lirboyo itu sudah setahun mengajar di Madrasah Ibnu Kholdun.

           Taman Hati adalah ruang terbuka hijau yang dikelola oleh Pemda Jakarta. Pemerintah Propinsi saat ini gencar menata kembali taman-taman kota menjadi lebih asri, rapi dan cantik. Ruang terbuka hijau memberikan manfaat bagi warga, karena sering digunakan sebagai tempat olahraga, nongkrong atau sekadar menghirup udara segar di tengah pengapnya polusi yang mendera ibukota.

           Tak jarang Taman Hati menjadi tempat favorit bagi kawula muda yang sedang dimabuk cinta tak terkecuali dengan Zul dan Isyah. Dalam seminggu, dua atau tiga kali mereka menyempatkan untuk singgah sejenak di Taman Hati, dan baru pulang menjelang senja. Biasanya selepas deadline majalah, Zul menjemput kekasih hatinya dengan kendaraan roda dua. Jika tidak dijemput, Aisyah memilih naik ojek online untuk pulang ke rumah. Pada hari libur Sabtu-Minggu, biasanya banyak masyarakat yang membawa anak-anaknya bermain di taman yang luasnya 3 hektar itu. Namun hari itu, hanya beberapa keluarga yang membawa anaknya yang bermain dan berlarian di Taman yang segar udaranya. Mungkin karena tanggal muda, sebagian besar keluarga memilih jalan-jalan di pusat keramaian. Mal merupakan tempat yang nyaman dan asyik untuk berbelanja dan bermain. Apalagi di Jakarta, puluhan mal berdiri megah untuk menampung warga ibukota yang ingin refreshing bersama keluarga.

           Lain dengan mal, lain pula dengan pula dengan perpustakaan atau museum. Dapat dikatakan museum dan perpustakaan adalah tempat paling sepi setelah kuburan. Padahal untuk masuk ke museum atau perpustakaan gratis. Berbeda dengan mal yang mesti membawa uang yang banyak untuk belanja. Meski Pepustakaan dan museum menyediakan berbagai ilmu pengetahuan yang gratis ternyata malah sepi,. Sementara mal yang minim dengan pengetahuan dan membayar pula untuk belanja malah sangat ramai. Ini membuktikan bahwa orang yang berinvestasi di kepala jumlahnya lebih sedikit ketimbang di perut.

Ya begitulah. Kalau pun ke mal, yang dicari Zul dan Isyah biasanya toko buku, di sana mereka membaca-baca buku dan jika tertarik mereka membelinya, setelah itu pulang. Untuk makan, mereka memilih membeli di food court karena lebih banyak pilihan dan harganya lebih murah ketimbang restoran atau rumah makan. 

***

 Dua sejoli itu masih bermain sambil bercanda ria di Taman Hati menjelang sore hari.

“Ibu kemarin telepon, beliau tanya kapan saya merit,” ujar Zul mendorong ayunan pelan.

Ia ingin mengatakan sesuatu.

“Terus..” balas Aisyah.

Zul menghela nafas sejenak.

“Saya sih penginnya cepet-cepet melamar Aisyah hehehe “ jawab Zul.

“Terus kenapa mas Zul nggak ngelamar….” Aisyah malah bertanya balik. 

           Hmmm Zul merasa tertantang, sudah satu tahun mereka saling mengenal. Meski hanya bermain di taman, atau kegiatan pengajian bersama. Zul memang selalu mengajak Isyah di keramaian. Secara umur, Zul memang sudah cukup, apalagi Isyah pun tidak banyak menuntut. Inilah pertanyaan yang ditunggunya dari Aisyah, meski sebenarnya ia belum menyiapkan jawabannya. 

“Iya nunggu modal dulu …belum ada investor hehehe “ canda Zul.

“Modal kok ditunggu…..dicari kali, nanti malah keburu diambil sama investornya hihihi…”balas Aisyah manja. 

           Zul cemberut, lalu ia mendorong ayunan kuat-kuat. Aisyah sontak berteriak sambil memegang besi ayunan dengan erat. Gadis berhidung mancung itu takut jatuh.

“Ah nggak kok Mas…. Bercandaaa,“ ujarnya kencang.

           Pemuda berbadan tinggi itu memelankan dorongannya sambil tersenyum. Dia kemudian membisikkan sesuatu.

“Insyaallah nanti dilamar, sabar yaa say….”

           Zul mendatangi Aisyah, berdiri di depannya memegang tangan gadis berkulit putih bersih itu. Aisyah tertunduk, tersipu malu, sambil melepaskan tangan pemuda berkulit sawo matang itu.

“Semua akan indah pada waktunya…” ujar Aisyah penuh harap.

           Zul tahu maksudnya, lalu mundur sejenak, mengambil sebuah majalah dari tasnya. Aisyah sepertinya sudah bisa menebak apa yang akan diberikan laki-laki itu. Ya, Majalah Reforma yang baru saja terbit. Aisyah membuka-buka isinya, membaca liputan apa yang ditulis oleh pemuda yang berhasil merebut hatinya. Tak banyak tulisan Zul dalam edisi kali ini dan hampir semuanya berita isinya yang ringan-ringan. Aisyah lalu menatap pemuda keturunan Jawa itu.

“Dimarahin lagi sama pak Batubara?” tanya Aisyah.

Zul menggeleng. 

“Mungkin Senin nanti… “ ujar Zul.

Hari Senin adalah agenda rutin rapat redaksi mingguan majalah Reforma.

“Kenapa? ”

Lihat selengkapnya