Majalah Reforma, majalah berita mingguan di ibukota yang usianya tergolong masih belia yang didirikan pada tahun 2005. Usia 2 tahun adalah usia seumur jagung bagi sebuah media. Dari sisi usaha, media yang berumur 2 tahun umumnya belum mampu membiayai kebutuhan operasionalnya sendiri, karena industri media itu bisnis jangka panjang. Maksudnya bisnis yang keuntungan tidak didapat secara instant tapi membutuhkan waktu yang lama. pada tahun-tahun awal khususnya 5 tahun pertama. owner atau pemilik masih memberikan subsidi agar operasional majalah bisa berjalan normal. Kekuatan finansial dari pemilik modal ini sangat menentukan agar media dapat bertahan di tengah persaingan yang kompetitif.
Di industri media dengan format Majalah Mingguan, pesaing beratnya yakni majalah Tempra, yang telah berdiri puluhan tahun silam. Mereka sudah eksis dan dikenal luas di masyarakat. Ibarat kata, jika ada Pohon tumbang di tengah hutan, jika belum diberitakan oleh Tempra, orang belum percaya. Meski sudah lama eksis, Tempra masih tetap kalah dengan Nyonya Mener yang berdiri sejak 1918, hehehe.
Majalah Reforma kelahirannya dibidani oleh mantan orang-orang Tempra yang menyempal, karena faktor “idealisme” yakni tidak cocok dengan adanya intervensi pemegang saham. Ceritanya, Majalah Tempra dimodali oleh seorang konglomerat Indonesia, namun ketika sang Konglomerat terjerat kasus korupsi, majalah Tempra malah membelanya habis-habisan. Nah para pentolan yang masih idealis seperti Batubara, Syahrizal dan Gumelar memilih pisah jalan dengan majalah Tempra karena tidak setuju dengan kebijakan perusahaan yang membela “bos”nya. Mereka menilai Tempra telah kehilangan jati diri sebagai media yang independent, netral dan obyektif dalam pemberitaan.
Akhirnya mereka bertiga mendapat modal dari beberapa investor untuk mendirikan majalah tandingan bernama Reforma. Namun kehadiran majalah ini membawa misi yang cukup sadis yakni untuk “mematikan” majalah Tempra. Sebuah misi yang sarat dengan emosi dan penuh dendam kesumat. Maka tak heran, Majalah Reforma berani head to head melawan Majalah Tempra, meski dari sisi kualitas , kuantiutas awak media dan dana yang memback up, sangat jomplang.
Tempra adalah majalah besar dengan awak yang berpengalaman dan dana operasional yang bisa dikatakan tak berseri. Namun Reforma, majalah kemarin sore dengan dana kembang kempis, ingin membuat positioning yang sama, yakni majalah Berita mingguan dan terbitnya sama yakni pada hari Sabtu. Dalam cerita pertarungan ini bukanlah perang Baratayudha, namun lebih mirip peresetruan Samson melawan Goliat.
Dengan dukungan SDM dan logistik yang terbatas, sangat sulit mengalahkan Majalah Tempra. Majalah Reforma kalah dalam segala hal terutama penyajian konten berita dan penjualan. Hingga memasuki tahun ke dua, situasi belum berubah. Majalah Reforma harus mengakui ketangguhan majalah Tempra. Akibatnya, majalah Reforma kehabisan amunisi, keuangan mulai bermasalah. Investor lama mundur tak sanggup lagi menyetor dana untuk operasional majalah. Bahkan Gumelar sebagai Redaktur Pelaksana hijrah membawa gerbong (anak buahnya) pindah ke sebuah stasiun teve karena tak betah dengan kondisi keuangan yang kian senja. Sedangkan Syahrizal, wakil pemimpin redaksi, memilih keluar karena diajak kliennya menjadi tim humas di Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Batubara, wartawan senior yang memiliki idealisme menjulang tinggi masih bertahan sebagai Pemimpin Redaksi. Pria Batak Samosir itu masih mempunyai keyakinan yang besar bahwa majalah Reforma suatu ketika akan mengalami masa kejayaan dan mengalahkan Tempra sebagai market leader. Karena investor lama tak lagi menyuntikan dana, maka Batubara menemui kliennya seorang pengusaha, bernama Kemala untuk menjadi investor majalah Reforma. Kemala adalah seorang pengusaha yang sangat dekat dengan Batubara. Sementara pemilik investor lama telah menyerahkan kuasa saham kepada Husin, seorang auditor yang kemudian terpilih sebagai anggota BPK.
Setelah setahun berjalan, dan dengan rayuan pulau kelapa ala Batubara, Kemala akhirnya mau menyetorkan dana untuk membeli saham majalah Reforma. Batubara senang karena nyawa majalah masih bisa diselamatkan. Akhirnya kepemilikan majalah Reforma dikuasai oleh Kemala sebesar 51% dan Husin mewakili pemilik saham lama hanya memegang 49 %. Persetujuan itu pun dibubuhkan tanda tangan di depan notaris dengan Kemala sebagai pemegang saham mayoritas.
Sebagai pemimpin umum atau perusahaan dipegang oleh Garibaldi, adik Kemala dan Pimrednya dipercayakan pada Batubara. Namun Garibaldi kurang aktif karena lebih banyak waktunya untuk memgurusi bisnis keluarga lainnya. Akhirnya kepemimpinan dipegang duet Batubara dan Warto, pemimpin perusahaan yang merupakan orang kepercayaan Husin. Jika ada keputusan yang strategis mereka mendiskusikan dengan pemegang saham. Kemala pun menarih orangnya Sigit sebagai Manajer Keuangan untuk mengelola arus cash flow perusahaan.
Namun hampir dua tahun berjalan setelah perubahan kepemilikan pemegang saham, belum ada tanda-tanda kehidupan majalah akan membaik. Bahkan uang yang digelontorkan Kemala sebesar Rp 3 miliar sudah hampir habis dipakai untuk operasional majalah. Apalagi dengan ditinggalkan beberapa wartawan senior membuat majalah harus merekrut orang baru sehingga mempengaruhi kualitas berita yang disajikan.
***
Senin Pagi yang cerah, tatkala sinar matahari sepenggalah, Batubara mengumpulkan awak redaksi majalah Reforma, menyampaikan kabar tentang tren penjualan majalah yang sedang turun. Batubara mulai mengurai penyebab pembelian majalah berkurang, yakni selain merebaknya media online juga karena pemasukan iklan tidak signifikan. Batubara pun menyoroti salah satu kelemahan mendasar media yakni konten yang disajikan kurang menarik pasar.
“Saya menyadari kawan-kawan di sini banyak yang baru, masih fresh, belum pernah terlibat di dunia jurnalistik. Tetapi di sisi lain, kita dituntut untuk bergerak cepat, dinamis, berusaha dan berjuang karena persaingan di era digital tidak mudah. Sekarang orang lebih banyak mengakses berita dari internet karena murah dan up to date.”
Batubara menyeruput kopi sejenak. Ia mempersilahkan anak buahnya menyantap gorengan, teh dan kopi yang dihidangkan di atas meja. Awak media pun menikmatinya.
“Ada satu kelebihan kita sebagai majalah mingguan yang tidak dipunyai oleh majalah online maupun harian yakni kedalaman dalam menyajikan tulisan. Itulah yang harus kita lakukan karena berita kita tidak basi, kita punya waktu yang cukup dan halaman yang memadai untuk dapat menulis liputan secara komprehensif dengan investigative reporting. Jadi kuncinya adalah kita harus berbeda dalam penyajian dan mengupas tuntas setiap berita dengan sajian yang utuh menyeluruh. Dan satu lagi, kita harus menyajikan sesuatu yang baru yang belum pernah dimuat atau diberitakan di media lain. Ini yang selama ini kurang kita gali. Caranya dengan melakukan investigasi reporting Mungkin ada yang sudah tahu artinya, yakni membuat laporan yang mendalam, rinci dan mengupas secara tuntas “ cerita Batubara membara.
Semua mendengarkan, termasuk Zul. Rendi manggut-manggut.
“Saya mau buka dapur majalah kita, kondisi keuangan kita saat ini belum sehat atau masih sakit. Ibarat orangtua sakit tapi belum dibawa berobat. Memang menjadi dilema buat semua, di satu sisi, kita dituntut untuk melakukan pekerjaan dengan optimal dan menghasilkan berita yang hebat dan kualitas. Namun di sisi lain anggaran kita sangat terbatas. Dengan kondisi ini kita tidak boleh menyerah dengan keadaan. Mari kita jadikan keterbatasan ini sebagai tantangan dan pembuktian bahwa kalian adalah wartawan yang handal,” jiwa idealis Batubara menyala mengobarkan semangat 1945.
Batubara berusaha memotivasi karyawannya. Sebagian awak media memberi aplaus dengan tepuk tangan, sementara beberapa orang memilih diam dan serius mendengarkan di tengah kerisauan akan kondisi finansial yang memprihatinkan. Setelah itu, Batubara melakukan evaluasi terhadap kinerja tim redaksi mingguan atas terbitnya edisi terbaru. Secara khusus Pimpinan Redaksi memuji kinerja Makmun, karena mampu menembus nara sumber. Di sisi lain, Batubara menyalahkan Zul, karena gagal melakukan wawancara dengan seorang Menteri yang diduga Korupsi pada edisi minggu lalu. Dia menantang Zul untuk mampu menebus kegagalannya pada edisi berikutnya.
“Saya rasa Zul kurang bersemangat dalam mengejar nara sumber, beda dengan Makmun yang selalu tembus nara sumbernya. Zul harus lebih ngotot sebagai seorang jurnalis, jangan hanya jadi wartawan biasa saja..” ujar Batubara.
Zul dan yang lain menyimak.
“Zul tidak tepat di posisi wartawan pak, mungkin cocoknya di bagian Promosi,” sahut Rendi, redaktur dengan nada meledek.
Beberapa wartawan cekikikan. Zul panas dingin merasa kesal, namun ia berusaha menahan diri. Rozy sohib Zul yang duduk di sebelahnya tidak terima. Dia geleng-geleng kepala. Batubara hanya tersenyum dan segera mendinginkan situasi.
“Hmmm, saya masih perlu tenaganya, saya kasih kesempatan kepada Zul dalam bulan ini, pindah atau tidak ke bagian lain, semua tergantung Zul, rapat Redaksi kita undur besok ya, karena hari ini saya dan pak Warto akan membuat laporan ke investor,” tegas Batubara.
****