Janji Suci

Dudun Parwanto
Chapter #3

Bingkisan Sobat Tak Bersahabat

Bingkisan Sobat Tak Bersahabat

 

 Majalah Mingguan Reforma terbit setiap Senin pagi dan sudah diedarkan ke masyarakat dan pelanggan. Biasanya deadline majalah pada Jumat Malam, dan hari Sabtu draft sudah masuk ke percetakan. Minggu Majalah Reforma sudah terbit. Penerbitan Majalah Tempra sama persis dengan Reforma, karena niat Reforma adalah menggeser dominasi majalah Tempra. Reforma ingin bersaing untuk memenangkan pasar dengan Tempra. Namun setelah memasuki tahun ke-3 , Reforma belum mampu menggeser Tempar sebagai majalah berita mingguan yang paling populer di masyarakat.

Setiap Senin jam 10 pagi, diadakan rapat redaksi Majalah Tempra yang wajib diikuti oleh semua awak redaksi. Dalam rapat ini semua awak media diharuskan mengusulkan rencana berita dan membuat draf wawancara dan mencari kontak narasumber . Namun Senin itu rapat redaksi ditunda hari Selasa, karena Pak Batubara sakit dan belum ada yang menggantikan perannya sebagai pemimpin dan pengambil keputusan rapat.

Menjelang azan Magrib, Zul sudah tiba di kosnya. Sebuah rumah kos sederhana di daerah Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dengan menggunakan sepeda motor ia menempuh perjalanan 30 menit untuk sampai di kantornya di Mampang. Pemilik kos, bernama Syahrul, orang Padang. Rumah kos berlantai dua dengan 10 kamar. Pintu rumah kos terpisah dengan rumah pemilik kos yang berada disampingnya. Lokasi rumah kos cukup strategis, karena terdapat angkutan umum atau angkot yang lewat di depannya. Zul hampir setahun tinggal di kos tersebut, sebelumnya selama satu tahun di Jakarta, dia menumpang di rumah Omnya, di kawasan Cijantung, Jakarta Timur.

           Dengan gaji UMR yang dia terima sebagai wartawan, membuatnya sangat sulit menabung. Apalagi dia harus membayar kos bulanan, mengirim ke ibunya dan untuk biaya hidupnya di Jakarta. Dia baru bisa bernafas lega jika mendapat order penulisan dari luar. Sebagai wartawan, Zul menerima proyek penulisan seperti membuat artikel, advertorial atau buku seperti Biografi. Pekerjaan itu biasa dikerjakannya sepulang dari kantor. Hasil sampingan itulah yang bisa digunakannya untuk membeli laptop, printer dan kebutuhan sekunder lainnya.

           Selepas sholat Magrib, di musola At Taqwa tak jah dari kosnya, Zul duduk di teras kos, membolak-balik Koran yang terbit hari ini. Para penghuni kos sepakat saweran untuk berlangganan sebuah Koran nasional. Meski saat ini banyak media online, namun Koran harian masih dibutuhkan untuk menambah informasi dan wawasan lebih update. Pada saat itu media online yang lebih canggih belum banyak tersedia di dunia maya. Apalagi sebagai kuli tinta, bagi Zul membaca berita harian “wajib kifayah” hukumnya. Disamping untuk menambah wawasan, dari media harian ini bisa menjadi rujukan berita yang bisa diusulkan pada rapat redaksi.

           Zul kembali membolak balikan halaman, mencari sesuatu yang bisa diusulkan untuk laporan utama majalah Reforma. Ketika Zul sedang membaca serius, Herman tiba-tiba muncul dari belakang dan menepuk punggungnya sehingga membuatnya kaget. Korannya pun jatuh. Zul jengkel, uring-uringan.

“Dasar kau Man bikin kaget orang saja……huh,” Zul geram.

“Santai aja bro…. hahaha serius amat ..”Herman kalem.

           Herman datang menenteng sebuah bingkisan sembako, yang dimasukan dalam kontainer plastik. Ada biskuit, sirup, teh, gula pasir, dan mie instan. Zul melihat bingkisan itu. Herman lalu membukanya, mengambil sekaleng biskuit.

“Ini buat upah kaget lo tadi ambil yang lo mau…….” Herman menyodorkan biskuit pada Zul.

“Hmmm tumben bawa bingkisan….darimana itu….kan lebaran masih lama,” tanya Zul.

“Halah kayak gini mah ga usah nunggu lebaran. Ini bingkisan akhir tahun dari kantor, setahun dua kali dapat beginian, biasanya akhir tahun sama lebaran,” jawab Herman .

“Wah enak jadi ASN dapat gaji besar dari Negara, dapat bingkisan dari mitra juga?” ujar Zul.

“Eiiit…bukan dari mitra, ini mah dari Dana Abadi Umat…”

“Hmmm wah mantap ya, ada dana abadi segala ……bolehlah pinjam untuk merit…heheh”

“Enak aja Dana Abadi Umat nggak boleh dipakai, masih utuh di bank, ini yang dibagi-bagikan itu bunganya…” jelas Herman.

“Ha apa bunga? masak Kementerian Agama mengambil bunga bank….yang bener aja?” Zul heran.

“Ya begitulah memang ga boleh, … sekarang kamu mau nggak biskuitnya? Nanti yang lain biar kebagian.” tanya Herman.

Zul menggelengkan kepala, mengembalikan biskuitnya pada Herman.

“Ah nggak mau aku kalau barang dibeli dari bunga ….itu kan Riba, “ Zul tersenyum sedikit meledhek.

“Ya sudah, ini Riba Hasanah hehehe…nanti aku kasih ke bang Kadir saja.” ucap, Herman bergegas pergi.

Herman balik lagi.

"Zul zaman sekarang itu orang idealis tidak laku, jadilah lebih luwes dan pragmatis, karena lingkungan kita seperti itu. kalau terlalu idealis nanti malah nggak punya teman," nasehat Herman menutup pembicaraan. Herman, masuk ke kamarnya sambil bersiul.

Dalam hati Zul setuju, dalam kehidupan ini kita harus luwes, pragmatis dan adaptif. Tidak terlalu idealis, kaku dan kurang bersosialisasi. Namun Zul masih belum mengerti, di Kemenag ternyata ada Dana Abadi Umat yang dibungakan. Yang mebuatnya heran, bunga itu digunakan untuk membeli bingkisan kepada karyawan seperti yang dibawa Herman. Zul makin penasaran apa itu Dana Abadi Umat dan kenapa harus dibungakan serta bunganya digunakan untuk bingkisan karyawan.

*****

 

Malam semakin sayup, rembulan mulai meredup. Suara jengkrik mengerik membuat suasana kian sunyi. Apalagi rumah Aisyah yang cukup besar dan halaman yang luas. Memang rumah besar itu enak jika dipakai untuk acara kumpul bersama keluarga besar. Namun ketika hari biasa, hanya tiga orang penghuni rumah, ditambah seorang sopir yang merangkap tukang kebon yakni pak Mamat dan Yu Ijah pembantu rumah tangga. Meski ada lima penghuni tetap saja kelihatan mencekam. Malam itu Haji Murod di ruang keluarga, ditemani istrinya Nurjanah dan Aisyah, anak semata wayang mereka. Aisyah mendapat wejangan dari Ayahnya.

Lihat selengkapnya