Setelah Majalah Reforma dengan tema Reklamasi terbit, maka tugas berat menanti Zul dan teman- temannya. Minggu ini adalah waktu yang tersisa untuk menuntaskan Laporan Utama dengan tema besar Korupsi Dana Haji. Awak Redaksi sudah melupakan sengkarut permasalahan laporan utama Reklamasi yang nyaris tidak terbit. Kini mereka fokus untuk menuntaskan rubrik pada edisi minggu ini dengan mengusung laporan utama yang menjadi narasi besar media mingguan ini. Laris tidaknyanya Majalah akan sangat bergantung pada tema laporan utama yang diangkat.
Apalagi Bang Batubara dengan percaya diri tinggi siap pasang badan di depan pemilik Majalah untuk mengganti uang pinjaman operasional. Batubara yakin Laporan Utama tentang Dana Haji ini akan meledak dan meningkatkan omset penjualan majalah, Iklan dan performa media di masyarakat. Suatu ketika Batubara, Warto dan Harjatmo mengadakan meeting internal untuk mengetahui perkembangan keuangan perusahaan di kantor.
"Penjualan majalah minggu ini kita belum tahu laku berapa, karena baru kemarin didistribusikan bagian sirkulasi. Harapannya sih bisa menembus 30 ribu eksemplar," jelas Pak Warto yang diaminkan oleh semua yang datang.
"Mungkin bisa dibuka Pak Warto, dapur keuangan Majalah kita biar, mereka tahu juga," ujar Pak Batubara.
" Baik Pak, sebenarnya semua masih progres, tapi untuk yang sudah terjadi selama ini penjualan majalah kita rata-rata 10 ribu eksemplar. Paling tinggi 15 ribu eksemplar. Kita jual eceran harganya Rp 20 ribu per eksemplar. Jadi pemasukan kotor setiap edisi sekitar Rp 200 juta. Sebulan ada 4 edisi sekitar Rp 800 juta, ditambah pendapatan iklan bersih Rp 200 juta jadi Rp 1 miliar. Sementara biaya cetak 25% dari harga majalah, biaya sirkulasi 10%, biaya agen dan pengecer 10% dan lain-lain 5% sehingga pemasukan bersih mencapai Rp 500 juta. Jika ada retur sekitar 20% maka pendapatan hanya Rp 400 juta. "
"Sebenarnya lumayan juga," ujar Batubara.
"Sekarang saya mau bicara pengeluaran yang ternyata cukup besar juga hehehe. Untuk sewa gedung, listrik, internet dan kebersihan sebulan Rp 50 juta. Gaji karyawan ada 30 orang, total mencapai Rp 200 juta, transportasi liputan Rp 50 juta, perawatan alat dan pembelian ATK Rp 30 juta , biaya promosi Rp 30 juta dan operasional lainnya mencapai Rp 40 juta. Jadi total pengeluaran Rp 400 juta " jelas Pak Warto.
"Jadi sebenarnya dengan hitungan itu, kita ga minus dong," tanya Harjatmo.
"Impas Pak, tapi kita tidak bisa saving dan bagi deviden, karena dana penjualan majalah di agency dan toko buku kan tidak langsung dibayar, biasanya 3 kali kirim yang pertama baru dibayar. " jelas Warto.
" Wah berarti bukan dana cash ya, masih piutang ?" tanya Harjatmo.
"Betul Pak, makanya untuk mengatur cash flow pembayaran kita ke percetakan juga menggunakan skema itu, 3 kali cetak, yang pertama baru dibayar. Kalau sudah langganan tidak ada masalah, kita saling percaya saja," tutur Pak Warto.
Bang Batubara dan Harjatmo mengangguk angguk. Paham mereka.
"Terus untuk mengembalikan pinjaman Pak Kemala, berapa omset yang harus kita dapatkan minggu ini Pak? " tanya Batubara.
Pak Warto kemudian mengambil kalkulator dan menghitungnya. Dia lalu menyodorkan angka di mesin penghitung itu pada Pak Batubara.
"20 ribu eksemplar, saya kira masih worthed lah, masih dalam radar jangkauan kalau laput kita booming,' ujar Batubara optimis.
"Ya Pak, tapi kenaikan penjualan 2 kali lipat tidak pernah terjadi selama ini, dan kalau berhasil akan menjadi rekor tersendiri. Pernah terjadi kenaikan omset tahun kemarin tertinggi 50% dari 10 ribu ke 15 ribu eksemplar. Itu kita sudah kipas kipas makan, bisa outbound dengan keluarga hehehe" ujar Pak Warto.
"Saya yakin sekali omset 20 ribu bisa tembus, jadi kita bisa bayar hutang. Dan target saya setelah itu tidak boleh kurang dari 15 ribu eksemplar per edisi, karena saya ingin gaji karyawan naik, minimal 10% lah," ujar Batubara.
"Insyah Allah Pak, nanti saya sampaikan ke pemegang saham, kalau mereka tidak minta deviden, aman Pak,: jawab Pak Warto.
****
Dalam peliputan investigasi skandal korupsi dana haji ini, tim membagi tugas yakni Zul dengan narasumber Kementerian Agama, dan penerima DAU, Rozy menghubungi narasumber kedua yakni BPK dan lembaga kepresidenan, Salim menemui anggota DPR dan Mirna mewawancarai LSM atau praktisi Haji.
Pada suatu sore Salim mewawancarai Kyai Danu, seorang anggota DPR, jabatannya wakil ketua komisi V yang membidangi masalah Keagamaan dan mengerti betul carut marut penyelenggaraan ibadah Haji di negeri ini. Sesuai saran Zul, Salim pertama kali meminta komentar Kyai Danu mengenai amburadulnya pelayanan ibadah selama haji. Kyai Danu pun berapi-api menceritakan permasalahan pelayanan haji selama ini. Seolah dimata dia, penyelenggara haji tidak baik kinerjanya dalam melayani jamaah haji.
Setelah itu, Salim mulai menanyakan tentang dana sisa haji dalam DAU.
“Begini, Biaya haji itu diusulkan pemerintah melalui Kemenag lalu dibahas bersama DPR, setelah itu keluarlah angka sekian. Namun dalam pelaksanaannya ternyata setiap tahun ada sisa atau semacam keuntungan yang kemudian dimasukan ke dalam apa yang disebut Dana Abadi Umat atau DAU. Nah karena hal ini sudah puluhan tahun sejak maka jumlah DAU sekarang cukup besar, untuk angka persinya silakan ditanyakan ke Kemenag” cerita Kyai Danu.
“ Terus uang itu dan bunga itu diapakan Kyai?” tanya Salim.
“DAU uangnya masih utuh malah berrtambah setiap tahun, karena tiap musim haji ada sisanya. Kalau bunganya, nah bunga ini kan ada yang bilang riba, sebenarnya tidak boleh digunakan untuk membangun sarana ibadah dan sebagainya, tapi boleh digunakan untuk kepentingan umum seperti jalan, jembatan dan sebagainya. Tapi dalam aturan Menteri Agama diperbolehkan untuk membantu pendidikan, sosial, kegiatan keagamaan dan sebagainya,” tutur Kyai Danu.
“Siapa yang mengatur keluarnya uang bunga ini?” tanya Salim lagi.
“Ada, tapi bukan UU ya PP, kalau UU saya tahu, kalau PP saya nggak hafal nomor berapa ya. Yang jelas DAU itu dibawah Badan pengelola dana haji yang diketuai oleh Menteri Agama,” jelas Kyai.
“Apakah penerima bunga DAU ini disampaikan ke publik?” Salim bertanya.
“Biasanya setiap tahun ada audit dari BPK lalu dilaporkan ke Presiden dan DPR. Kalau BPK mengatakan tidak ada kerugian Negara ya DPR tidak bersikap apapun menerima saja. Selama ini begitu.”
Kyai Danu mengatakan tidak tahu menahu secara teknis penerima bunga DAU. Dia menyarankan agar Salim menanyakan ke BPK karena datanya lebih valid. Ketika pulang Kyai Danu memberi amplop untuk transport dan Salim menerimanya. Kyai Danu berpesan agar bahasanya jangan dipelintir.
***