Janji Suci

Dudun Parwanto
Chapter #7

Ditolak Wawancara Pejabat Negara

 Ditolak Wawancara Pejabat Negara

 

Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa hari kamis ini adalah dua hari menjelang deadline laporan utama majalah Reforma dengan tema Reklamasi. Sebagai Pimred, Batubara ingin mengetahui progres dari laporan utama berita mingguan yang ia pimpin. Apalagi tekanan dari pemegang saham agar majalah bisa mandiri tanpa intervensi finasial darti stake holder semakin kuat. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah menghidangkan konten yang menarik sehingga bisa laku keras di pasaran. Setiap hari, Batubata memeras otaknya demi kesinambungan usaha. Dua teman sejawatnya sudah cabut duluan, kini tinggal dia pentolan wartawan di majalah Reforma.

  Batubara tak segan turun ke lapangan untuk memastikan semua berita berjalan sesuai dengan jadwal. Apalagi laporan utama yang menjadi jantung dari isi pemberitaan majalah sehingga harus dikawal ekstra ketat. Tim laporan utama tentang Reklamasi ini adalah Rendi sesuai hasil rapat Redaksi.

Rendi dan Makmun yang sedang duduk berbincang di ruang rapat kecil.

 “Gimana Mun, bahan-bahan sudah beres hari ini terakhir….”tanya Rendi.

 “Gubernur DKI belum membalas surat permohonan wawancara , Dua Menteri juga juga masih belum bisa ditemui Bang” jawab Makmun sedikit pesimis.

"Hmm waduh dimana ini, nara sumber utama belum dapat, bang Batubara pasti marah besar," ujar Rendi bingung dan berpikir.

“Hmmm kamu kumpulkan saja statement gubernur DKI di internet kan banyak, kamu rangkum terus tulis dalam bentuk narasi olah dikit-dikit biar nggak sam,. sebagai back up kalau wawancara nya nggak tembus“ usul Rendi memberi solusi.

Sebagai senior Rendi tidak ingin istilah gagal menembus nara sumber pada anak buahnya.

“Seperti biasa ya?”

“Iya lah… Jangan sampai dimata bang Batubara narasumber tidak bisa didapat..itu kartu kuning,”

 “ Apa lama-lama nanti nggak ketahuan…”

“Ya kamu lihat, selama ini nggak ada masalah kan…?”

“Iya, itu yang saya kuatirkan…” tegas Makmun.

“Kita ini majalah baru, namun tuntutannya harus bisa bersaing dengan majalah Tempra yang sudah 20 tahun lebih. Selain itu, kita diberi fasilitas yang jauh dibawah apa yang diterima wartawan Tempra. Sementara narasumber di luar sana itu banyak yang belum mengenal kita, sehingga menganggap majalah kita dengan sebelah mata…..Itu yang tidak dipahami oleh Pimred…” ujar Rendi mulai curcol.

           Makmun mengangguk. Tak lama kemudian mereka kembali bekerja di depan komputer. Tiba-tiba Batubara datang menyapa mereka. Mereka berdua setengah kaget.

“ Gimana Ren, urusan ….beres? “ tanya Batubara.

“ Siap Bang 70 %, sedikit lagi bahannya.” Jawab Rendi.

“Narasumber utama sudah dikunci…” tanya Pimred berambut tipis itu.

“Segera kita kunci bang..” sahut Rendi.

“Oooo berarti belum dapat wawancara Menteri sama Gubernur, gimana Mun kamu sudah wawancara gubernur DKI?” tanya Batubara kali ini pada Makmun yang duduk di sebelah Rendi.  

“Belum Bang, …” jawab Makmun keder.

Tiba-tiba kaki Rendi menginjak sepatunya dari kolong meja.

“Wah bisa gawat nih, hari lagi deadline loh, Gubernur sama 2 Menteri harus dapat, kapan bisa dapat Gubernur..?” tanya Batubara kurang puas.

“Insyaallah besok Bang, Makmun seharian akan nungguin di balaikota untuk ketemu Gubernur, secara formal kita sudah kirim surat permohonan wawancara, kita akan follow up terus bang..” janji Rendi.

“Kalau dengan cara konvensional lamalah, mengirim surat permohonan itu jaman saya masih kuliah dulu. Sekarang gunakan teknologi seperti telepon, sms, wa email, google map dan sebagainya. Apalagi kamu sebagai senior bantulah Makmun. Tolong dipertajam juga pertanyaan-pertanyaannya jangan hanya seperti apa yang tertulis Koran seperti yang sudah-sudah…. “

“Baik bang 86..” ujar Rendi.

Rendi heran bang Batubara sepertinya sudah membaca pola tulisannya.

           Batubara pergi, dari gestur tubuhnya menunjukkan sikap tidak puas dengan kinerja anak buahnya. Rendi dan Makmun saling memandang, rupanya Batubara memperhatikan laporan berita mereka secara detil.

***

 Sementara itu di kantor Kemenag, Dolalah duduk di ruangan, membuka –buka berkas, ketika suara pintu diketuk.

“Masuk..” kata Dolalah yang sudah hafal siapa orang yang akan masuk.

Sekretarisnya datang membawa surat permohonan wawancara dari Majalah Reforma. Dolalah membaca sejenak, lalu menelpon seseorang. Endang masih duduk menunggu.

 “Sebaiknya nggak usah dululah… DAU jangan diekspos dulu menunggu audit dari BPK..” ujar suara di sana yang tak lain adalah Menteri Agama.

 “ Baik Pak Menteri.” ujar Dolalah.

           Kemudian Dolalah memanggil Endang untuk membuat surat penolakan permohonan wawancara majalah Reforma via fax. Surat pun segera dibuat lalu difax ke redaksi Reforma.

****

 

Saat itu juga fax sudah sampai. Bu Jujuk di kantor redaksi memberikan fax itu pada Zul sebagai penanggung jawab berita utama. Pemuda itu terlihat lesu menerima fax yang dikirim dari Kementerian Agama yang menolak dilakukan wawancara tentang Dana Abadi Umat, alasannya menunggu pengumuman audit dari BPK. Zul tiba-tiba teringat dengan obrolan dua orang di lift yang menyebut nama Yayasan Rabiah dan Muhayat. Pemuda itu lalu membuka internet untuk browsing. Setelah bertanya pada Kyai Google, ia menemukan informasi bahwa besok ada peresmian pembangunan musola di yayasan Rabiah, dalam informasi itu ditemukan kabar acara tersebut berlangsung jam 10 pagi yang rencananya akan diresmikan Menteri Agama.

           Zul kemudian melihat google map, mencari letak yayasan Rabiah. Setelah dimasukan kata kunci lalu diklik, maka keluarlah peta dimana Yayasan Rabiah berada. Letaknya di pinggir Jakarta Timur, sekitar satu jam perjalanan motor dari Redaksi Reforma.

           Kemudian Zul browsing lagi untuk mengetahui profil pengelola DAU bernama Dolalah. Tidak banyak data mengenai Dolalah, seperti yang diceritakan Herman, Dolalah jarang wawancara dengan wartawan. Ternyata Dolalah sering mendatangi kegiatan beberapa ormas Islam untuk peresmian gedung baru. Zul berpikir pasti ada hubungannya dengan jabatan Dolalah, sebagai pengelola DAU. Zul kemudian mencari gambar atau foto Dolalah, namun hanya satu foto yang ditemukan, Zul mencoba menghafal wajah itu agar ketika ketemu dia bisa melakukan wawancara.

           Dalam wawancara, memang tidak selalu membuat permohonan resmi kepada nara sumber. Apalagi jika narasumber tersebut enggan bertemu wartawan misalnya karena tersangkut kasus. Maka cara paling cepat dengan wawancara mencegat nara sumber dengan menyodorkan pertanyaan pada saat bertemu di suatu tempat. Karena Dolalah enggan menerima permohonan wawancara secara formal, maka Zul terpaksa menempuh cara itu untuk mendapatkan konfirmasi lebih cemengenai berita yang akan dia tulis.

****

  Zul tidak tahu acara peresmian di yayasan Rabiah dimajukan sejam. Esok pagi setelah absen dari kantor, dengan mengendarai motornya dia berusaha menembus kemacetan Jakarta karena acara dimulai jam 10 pagi. Zul segera mencari alamat yayasan Rabiah, tapi malangnya dia tersasar selama  mencari lokasi tersebut.   

           Zul kaget ketika tiba di lokasi ternyata acara peresmian telah selesai. Zul melihat mobil milik Haji Murod, terparkir di halaman, namun pemiliknya tidak nampak. Namun Zul tidak mempedulikan keberadaan mobil itu, karena dia ke situ tujuannya bertemu pejabat Kemenag. Dia mengamati barangkali ada mobil pejabat yang masih terparkir. Seorang berpakaian safari berjalan diikuti beberapa orang menuju mobil. Zul melihat wajahnya sekilas, ya itu Haji Dolalah. Ia bergegas mengejar Dolalah yang berjalan menuju mobil. Awalnya Dolalah enggan menanggapi, namun Zul tidak kehilangan akal dengan memancing dengan pertanyaan yang tajam.

“Pak saya dari majalah Reforma, bisa konfirmasi tentang DAU” Zul mengejar Dolalah.

Lihat selengkapnya