Janji Suci

Dudun Parwanto
Chapter #13

Data DAU di Sumur Batu

 

 Rabu Pagi dua hari lagi deadline, Zul mengumpulkan tim investigasi DAU. Pemuda itu mulai melihat adanya upaya-upaya orang tertentu untuk menggagalkan investigasi DAU. Maka ia meminta pada timnya agar semua data diback up dan segera dibuat transkripnya. Zul juga menyampaikan bahwa hari ini dia akan ke Garut untuk menemui Rahman. Zul berharap Rahman masih menyimpan data penerima DAU selama dia masih menjabat sebagai Direktur Pengelola Dana Haji, setahun silam. Batubara sudah menyetujui dan berharap paling lambat hari Jumat pagi Zul sudah kembali ke Jakarta.

           Rozy berpesan agar Zul hati-hati di jalan, karena mungkin ada orang-orang yang tidak suka padanya dan berusaha mencelakainya. Mirna dan Salim menyalami pemuda itu dengan penuh haru layaknya mau berpisah dengan orang yang mau pergi ibadah Haji. Jam 10 pagi, Rozy mengantar Zul menuju terminal Kampung Rambutan. Dengan menggunakan bis, Zul berangkat menuju Garut. Sebuah perjalanan memulai misi mencari data yang sangat penting. Tapi bukan misi imposible, tapi misi yang penuh dengan tantangan. Di perjalanan, Khudori menelpon menanyakan tawarannya semalam.

“Saya sebenarnya senang sekali bisa membantu menulis buku permintaan Abang, namun jiwa saya adalah jiwa wartawan yang tidak boleh luntur, meski mendapat tawaran yang sangat luar biasa ..jadi saya putuskan meneruskan investgasi laput kami” jawab Zul di dalam bus.

“Hmm baiklah, saya sudah memberikan sesuatu yang terbaik untuk Anda, namun anda menolaknya. Sekarang saya tidak menjamin keselamatan anda…” jawab Khudori sedikit mengancam.

           Zul agak kaget. Diperhatikannya sekeliling dalam bis, kuatir ada orang yang membuntutinya. Perjalanan dari Jakarta ke Garut dalam kondisi normal ditempuh dalam waktu 6 jam. Sesuai Perkiraannya sekitar  jam 4 dia sampai di Garut.

***

 

Jam 12 siang, itu Haji Murod menyambangi Yayasan Rabiah. Dia menanyakan apakah ada wartawan yang mendatangi Yayasan, sehingga tahu keberadaannya di Yayasan Rabiah. Haji Murod agak galau karena putrinya tahu dia menjadi pengurus Rabiah.

“Satpam saya pernah cerita ada seorang pemuda yang mengaku wartawan wawancara dengan pak Dolalah. Kemudian beberapa hari lalu ada seorang perempuan dari majalah Reforma menemui saya….”

“Apa yang dia tanyakan?”

“Bantuan dana dari Kemenag…..” ujar Rohana.

“Terus kamu ngomong apa?tanya Haji murod.

“Saya iyakan…. Tapi saya tidak jawab pos dana mana..”

“Waduh gawat, harusnya jawab saja daro donator jangan dari Kemenag, bisa rumit urusan nih..” Murod semakin cemas. 

“Maaf saya tidak tahu….”

Haji Murod geleng-geleng kepala.

“Ohya perempuan itu ingin tahu nomor Bapak?”

“Nggak usah, saya tidak mau diwawancara Wartawan. Saya telpon pak Dolalah dulu.”

           Dolalah mengatakan pada Haji Murod, jika minggu ini majalah Reforma akan mengupas laporan utama mengenai Dana Abadi Umat. Koordinator liputannya adalah Zulfikar. Dolalah sudah mengutus Khudori untuk membujuk Zul dengan proyek buku senilai Rp 50 juta namun ditolak.

“Oh saya kenal Zul, nanti saya yang akan membujuknya…” ujar haji Murod.

           Haji Murod lalu menelpon Aisyah berkali-kali namun tidak diangkat karena gadis itu sedang mengajar. Kemudian Haji Murod mengirim sms. Baru menjelang ashar, sms dari Papanya masuk. Aisyah heran mengetahui ayahnya minta nomor telpon Zul. Ada apa? Namun pulsa Aisyah habis sehingga tidak bisa membalas sms. Sorenya Haji Murod menelpon Aisyah dan Aisyah pun memberi nomor hape Zul. Haji Murod mencoba menghubungi Zul namun tidak bisa tersambung. Haji Murod lalu meminta Aisyah menelpon Zul, kuatir nomornya tak dikenal sehingga Zul tidak mengangkatnya.

“Bilang ke Zul, Papa mau bicara penting !” ujar haji Murod pada putrinya.

Aisyah menelpon Zul, namun juga tak tersambung. Ia tidak tahu Zul sudah sampai di Garut dan tidak ada sinyal di sana.

****

 

Jelang ashar Zul sudah sampai di Garut. Dia membuka google map, sesuai petunjuk dia naik ojek menuju KUA Sumurbatu. Zul sampai di KUA Garut saat sholat ashar. Diapun menaruh tasnya dan mengambil air wudhu dan sholat di musola kecil itu. Usai sholat, Zul menanyakan pada Imam keberadaan ketua KUA. Imam musola itu seorang pria tua berbaju gamis putih, berjenggot dan berpeci putih.

“Maaf Pak, apakah bapak tahu pak Rahman?” tanya pemuda berkaos krah dan celana jins itu.

“Untuk apa adik nyari dia?..” tanyanya balik.

“Saya wartawan majalah Reforma dari Jakarta Pak,”

“Untuk apa kemari?” tanya Rahman.

“Saya sedang ditugaskan menulis tentang Dana Abadi Umat Kementerian Agama.”

“Sama siapa adik ke sini?” tanya orang itu memperhatikan kanan kiri.

“Sendiri Pak?”

“Yakin?” orang itu curiga.

           Zul mengangguk. Orang itu lalu mengajak Zul ke kantornya. Sebuah kantor yang hanya berisi 3 orang staf. Meski bangunannya tua dan sederhana, namun tertata rapi dan bersih. Lelaki tua itu masuk ruangan yang tertulis papan nama di atas pintu Kepala KUA. Orang itu duduk di kursi, tertulis nama di atas mejanya Haji Rahman .

“Bapak…Pak Rahman?” tanya Zul.

“Iya…..Kenapa anda mau menemui saya?” balik bertanya.

“Saya mendapat informasi dari haji Darwis, bapak tahu tentang Dana Abadi Umat,”

“Oh Darwis, rupanya dia yang memberi tahu …… terus apa yang bisa saya bantu?” ujarnya sambil mengelap mukanya dengan handuk kecil.

“Begini pak, saya perlu informasi banyak dari Bapak mengenai DAU ?”

Rahman mengambil air putih menaruh di atas meja. Mempersilakan Zul untuk minum. Pemuda itu pun meminumnya.

“Sebenarnya saya sudah setahun tidak tahu menahu tentang DAU. Semenjak pindah di sini, saya sudah tidak mau iagi mengutak atik masalah itu. Lebih baik seperti sekarang hidup, tenang dan ibadah nyaman…jadi mohon maaf saya tidak bisa membantu…”

“Kenapa Pak?”

“Saya sudah tua, sebentar lagi mau pensiun dan tidak tertarik urusan dunia seperti itu.. DAU itu masa lalu… ”

Lihat selengkapnya