Janji Suci

Dudun Parwanto
Chapter #15

Dilema si Kuli Tinta

 

Suasana desa Sumurbatu di Garut yang asri dan tenang telah menjauhkan dari kepenatan. Selama tinggal di rumah Pak Rahman, Zul sering kesulitan berkomunikasi karena minimnya akses internet. Namun hal itu tidak dijadikannya alasan untuk malas dan tidak produktif. Ia tetap mengerjakan laporan utama, sambil melakukan wawancara dengan Pak Rahman. Demi mendapatkan data penerima DAU, Zul rela bermalam untuk menghafal surat Ar Rahman. Sebuah perjuangan yang tidak mudah.

Menjelang sholat Jumat, akhirnya Zul sudah hafal Ar Rahman. Pak Rahman sudah menunggu di teras rumah sambil menyajikan kopi dan gorengan yang hangat. Zul pun menghampiri dan penuh percaya diri dengan hafalannya. Dia pun membaca hafalannya di depan Pak Rahman yang diam menyimak sambil tangannya memainkan tasbih. Dari ruang tamu di dalam rumah, anak gadis Pak Rahman ikut menyimak bacaan Zul. Dengan lancar Zul melantunkan bacaan surat Ar Rahman dengan tartil. Selesai membaca, Pak Rahman tersenyum senang karena syaratnya dapat dicapai Zul.

Kemudian Pak Rahman pun mengambil flash disk berwarna jingga, lalu duduk berhadapan dengan Zul.

“Alhamdulillah kamu sudah hafal surat Ar Rahman, meski harus dua hari berada di sini hehehe, ya itulah perjuangan. Allah telah menunjukkan kepadaku orang yang tepat menerima amanah ini. Apalagi fadilah membaca surat Ar Rahman sangat besar, yakni Barangsiapa yang membaca surat Ar-Rahman, Allah akan menyayangi kelemahannya dan meridhai nikmat yang dikaruniakan padanya,” ujar Pak Rahman.

 Sesuai dengan janjinya, Pak Rahman kemudian menyerahkan flash disk sambil meneteskan air mata. Zul terharu.

 “Ini adalah data yang sangat penting, karena melibatkan pejabat Negara yang masih berkuasa. Sebelum aku serahkan data ini aku ingin kamu berjanji, untuk menguak skandal korupsi DAU ini, meskipun nyawa taruhannya..bagaimana ?”

Zul diam sejenak, dia sudah berjuang untuk mendapat data itu. Pantang baginya untuk mundur, setelah membaca bismilah dia mengatakan siap.

“Insyaallah Pak…” jawab Zul.

           Pak Rahman memegang sambil menggenggam erat kedua tangannya. Sebuah pertanda sebagai janji suci yang harus dipegang kuat. Dalam janji itu terdapat tantangan besar, hingga sampai pengorbanan jiwa dan raga. Rahman merasa telah mendapatkan orang yang tepat untuk membongkar skandal korupsi yang menumpangi pelaksanaan rukun islam kelima. Dia meneteskan air mata. Air mata bahagia, sedih , haru yang sarat makna. Apalagi setahun lagi dia pensiun dan ia mendapatkan momentum bertemu dengan Zul. Pak Rahman yakin Allah mengirim orang kepadanya untuk membongkar kejahatan di institusi yang berlabel agama.

           Zul pun merasa mendapat amanah yang luar biasa dari seorang yang saleh dan dekat dengan Tuhan. Selama 2 hari di rumah Pak Rahman, Zul melihat lelaki tua itu tak pernah lepas dari air wudhl. Setiap kali batal ia selalu mengambil wudlu lagi. Kalau wudlu saja dia jaga apalagi dengan perbuatan yang dilarang Tuhan. Dia sangat senang bertemu dengan sosok Rahman, seorang pejabat yang lurus dan tidak termakan pada budaya transaksional yang menjamur sekarang.

           Baginya sacred promise adalah janji suci yang harus diikuti. Karena Pak Rahman memberi amanah kepadanya, maka Zul berjanji memegang teguh janji itu dan tidak akan menyia-nyiakan amanat Rahman.

 “Nanti kalau urusan ini sudah selesai, kamu boleh kemari lagi, ada bidadari Surga yang menunggumu hanya dengan mahar hafalan surat Ar Rahman…” ujar Rahman tersenyum.

           Zul tersenyum, ia tahu maksudnya. Ia pun memandang Fatimah. Rahman memberi isyarat agar Fatimah membuka cadarnya. Masya Alloh, Zul kaget melihat seperti melihat sosok bidadari di depannya. Fatimah tak kalah cantiknya dengan Aisyah. Namun Zul tidak menceritakan bahwa sebenarnya dia sudah mempunyai gadis jelita yang sudah mengisi relung hatinya. Zul tidak mau Fatimah atau Pak Rahman kecewa.

“Aku tahu, dari sorot matamu, ada seorang gadis yang telah menunggu di sana, tidak apa-apa, karena jodoh ada di tangan Tuhan,” ujar Pak Rahman.

Zul tidak heran Pak Rahman dapat membaca orang dari gerak geriknya. Orang yang dekat dengan Tuhan memang biasanya bisa membaca sesuatu dengan mata batin. Itulah yang terjadi pada Pak Rahman.

           Setelah mendapat data yang dicarinya, Zul pamitan karena malam ini adalah deadline majalah Reforma. Selepas Jum'atan, Zul pun akan kembali ke Jakarta. Zul pun mencium tangan Pak Rahman, namun tatapan matanya laki laki terlihat kosong.

“Semoga Allah memberi keselamatan padamu …” doa Pak Rahman diaminkan Fatimah.

Tak disangka airmata Zul menetes tanpa permisi. Dalam hatinya dia masih ingin bertemu dengan bapak dan anak gadisnya itu. Jikalau dia belum mengenal Isyah, tentu Zul akan meminang Fatimah. Dia seorang gadis yang tulus dan salehah.  

Suasana haru pun terasa ketika Zul meninggalkan rumah Pak Rahman. Fatimah sesenggukan dalam dekapan ayah tercintanya, sedangkan sang ibu sudah berpulang dua tahun silam karena sakit.

           Pemuda itu sudah 2 hari tidak ada kontak dengan teman teman kantornya. Dia tidak tahu kalau kantornya sudah diobrak-abrik para preman. Ia juga tidak tahu bahwa peliputan laporan utama sempat dihentikan sementara. Dia membawa HP ke Garut, tapi selama disana sulit mengakses internet. Tapi ada untungnya, Zul banyak belajar tentang agama dan kehidupan pada Pak Rahman yang sudah dianggapnya sebagai guru kehidupan. 

***

 

Zul meninggalkan rumah Pak Rahman naik ojek menuju terminal Garut. Dari terminal, kemudian naik bus antar kota menuju Jakarta. Di perjalanan, ia membuka file yang diberikan Pak Rahman dengan laptopnya karena kursi disebelahnya kosong sehingga ia agak leluasa untuk membaca. Dia kaget melihat nama-nama yang dikenalnya menerima dana manfaat DAU kemenag. Misalnya Haji Murod sebagai penerima dana manfaat DAU di 3 Yayasan yang berbeda. Ternyata haji Murod adalah ketua perhimpunan Yayasan yang menjadi tangan kanan penyaluran bantuan Kemenag ke yayasan-yayasan agama yang menerima bantuan. Zul pun menarik garis merah yang menghubungkan antara Yayasan Penerima seperti Rabiah dan liputan majalah Reforma. Zul sudah mencium bahwa haji Murod takut terbongkar aibnya sehingga ia diijinkan menikahi Aisyah dengan mahar yang baginya cukup fantastis.

           Zul menghadapi dilema untuk meneruskan liputan berita ini. Di satu sisi dia ingin mengungkap kasus itu, namun di sisi lain kasus itu melibatkan orang tua dari gadis pujaannya. Zul tidak ingin Aisyah kecewa. Zul akan minta masukan dari Isyah dulu sebelum melangkah lebih jauh. Tapi dia ingin tetap komitmen dengan janjinya pada Pak Rahman.

           Bus yang ia tumpangi di jalan sempat berpas-pasan dengan mobil Aisyah yang sedang menuju ke rumah Pak Rahman. Dalam mobil itu Aisyah dan Nia dikawal oleh dua orang polisi berpakaian preman dari Polres Jakarta Selatan. Selama di rumah Rahman, Zul tidak dapat berkomunikasi karena tak ada sinyal. Di perjalanan Zul membuka hapenya. Zul kaget karena ada ratusan pesan yang masuk via WA dan pulusan sms dan panggilan yang tak terjawab terdaftar di ponselnya.

           Kabar itu antara lain, Aisyah yang menyusul ke Garut. Herman mengabarkan suasana Kemenag memanas karena dia dipanggil sekretaris Dolalah. Khudori yang mengancam mempidanakannya atas perbuatan tidak menyenangkan, serta Batubara yang memintanya segera pulang. Hingga pesan terakhir dari Rozy bahwa semalam terjadi kerusakan parah di kantor redaksi Reforma yang dilakukan orang tak dikenal. Zul merasa shock karena kantor redaksinya diobrak-abrik oleh orang tak dikenal yang disinyalir terkait dengan liputan korupsi haji yang sedang ia kerjakan 

           Zul geleng-geleng kepala, dalam 2 hari dia tidak berkomunikasi dengan dunia luar, banyak peristiwa yang telah terjadi. Perubahannya sangat drastis. Zul pun memprioritaskan untuk menelpon Batubara karena kabar tentang perusakan kantor redaksi Reforma ingin ia ketahui terlebih dahulu ketimbang kabar lainnya.

“Hei Zul, syukurlah kau sehat, dimana posisimu..” tanya Batubara.

“Baik bang, ini baru sampai Bandung, mungkin lepas Ashar sudah sampai Jakarta. Gimana kabar kantor kita bang?” tanyanya.

“Sedang heboh ini gara-gara laputmu hehehe, kantor kita diteror dan rusak parah hancur semua. Sekarang semua redaksi pindah ke kantor pak Kemala di Kuningan. Namun ini ada hikmahnya, karena semua media meliput dan nama majalah kita jadi terkenal hehehe,” Batubara sedih tapi bahagia.

 “Tidak ada korban jiwa bang,” Zul merasa berdosa jika gara-gara usulannya tentang DAU ada yang harus meregang nyawa.

“Enggaklah…aman-aman saja, Datanya sudah dapatkan?” ujar Batubara.

“Sudah bang, sangat lengkap “ ujar Zul.

“Oke sip, nanti aku minta Rozy menjemputmu di terminal Rambutan ya. Tolong amankan datanya dan hati-hati di jalan... “ ucap Batubara senang.

           Belum sempat Zul bicara hape mati, ternyata baterainya habis. Zul kesal belum memberitahu tentang nama haji Murod pada Aisyah. Di perjalanan tak mungkin dia mencash baterainya. Dia sudah membaca WA tapi tidak bisa membalasnya. Kabar terakhir masuk WA dari Herman memberitahu bahwa dia sedang berada di ruangan Dolalah dan rombongan preman atas perintah Dolalah sedang menuju rumah Pak Rahman di Garut.  

***

 

Zul bingung bagaimana dia akan menghubungi Pak Rahman, sementara daerah itu tidak ada sinyal.

Ohya Zul ingat dia mendapat hadiah power bank dari Aisyah. Power bank itu masih penuh baterainya sehingga bisa untuk mencharge hapenya.

Tiba-tiba hapenya berbunyi, Aisyah menelponnya.

Lihat selengkapnya