Di kantor Majalah Reforma menunjukkan jam sebelas malam. Semua awak redaksi sibuk mengerjakan tulisan pada deadline malam hari ini. Mereka masih berada di kantor sementara, karena pengamanan lebih ketat. Kemala masuk ke ruangan Batubara ditemani Warto, ada sesuatu yang urgent yang harus dibicarakan bersama.
"Tadi Kasat reskrim WA saya sudah menangkap pelaku penganiaayan Zul dan sekarang Zul sedang menjalani perawatan di rumah sakit. Perjuangan untuk mendapatkan berita ini berat, dan itu sudah saya menduga sebelumnya," cerita Batubara.
"Syukurlah kalau Zul tidak apa-apa. Barusan saya ditelepon Pak Menteri, ada tawaran dari investor temannya Pak Menteri Agama, seorang pengusaha siap mengucurkan dana untuk membeli saham Reforma. Saya berencana menjual saham saya di sini, karena bisnis saya sendiri juga sepi dan saya kesulitan untuk mengeluarkan dana melanjutkan majalah ini ke depan. Investor baru akan menyiapkan dana untuk satu tahun ke depan, saya pikir ini tawaran yang worth it lah " cerita Kemala.
"Kalau saya dari bidang usaha, akan menyambut dengan sangat senang, jika ada investor masuk dan tak hanya membeli saham, tapi juga menyuntikkan dana, karena kita saat ini sedang membutuhkan itu untuk bertahan dan memajukan perusahaan, kita tidak bisa hidup begini terus.." jelas Warto.
"Apakah ada syaratnya? "tanya Batubara.
"Ya pastilah, mereka minta liputan DAU tidak usah dinaikkan, " jelas Kemala.
"Ah itu syarat yang terlampau berat. Kita sudah dibantai habis-habisan, masak mau mundur lagi. Untuk apa kita berjuang, ada yang mempertaruhkan nyawa dan bekerja siang malam tapi majalah tidak jadi terbit," tolak Batubara mentah-mentah.
"Sudahlah bang, jangan terlalu idealis. Jangan mengedepankan emosi, berpikirlah untuk masa depan. Kita di sini semua perlu makan, teman-teman perlu gaji, kantor butuh biaya operasional. Semua tidak bisa dibiayai dengan idealisme, semua butuh duit," jawab Warto.
"Ya aku tahu itu, tapi tanpa idealisme kita seperti robot yang bisa disetir pemiliknya, dan aku tidak mau menjadi robot," ujar Batubara.
"Terus bagaimana ini, waktu terus berjalan, kita harus segera putuskan pending atau jalan," tanya Warto.
Kemala diam saja berpikir serius. Bisa saja dia putuskan Laput edisi ini dipending. Tapi konsekuensinya Batubara dan sebagian awak redaksi yang loyal akan mundur, bisa jadi majalah ini akan bubar dan investasinya akan sia-sia.
Jam menunjukkan pukul 12 malam, tiba-tiba seorang pemuda dengan kepala di surban dan berjalan menggunakan tongkat berdiri di depan pintu ruang Batubara. Mereka bertiga kaget melihat Zul sudah sampai di depan pintu. Melihat kondisi Zul, Kemala merasa miris, dia tidak tega melihat perjuangan anak muda ini, ia langsung mengangkat tangannya.
"Oke saya putuskan lanjut,' jelasnya sambil menghampiri dan memeluk Zul. Bang Batubara berdiri mendekap pemuda itu era. Sementara Warto keluar ruangan, kecewa dengan keputusan Kemala.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu kembali dengan selamat Zul. Kita akan melanjutkkan perjuanganmu," ujar Batubara.
Zul pun kemudian duduk di hadapan para petinggi majalah Reforma.
"Tadi haji Murod menelepon saya, sewaktu di rumah sakit, beliau meminta saya untuk terus melanjutkan liputan ini, apalagi Pak Rahman sudah meninggal menjadi martir bagi peliputan majalah ini. Beliau berpesan kepada saya agar saya berjanji menguak tabir korupis dana haji sebagai syarat untuk mendapatkan data penerima DAU " terang Zul.
"Baiklah kalau calon mertua sudah setuju, ayo kita gas.." canda Batubara.
Zul pun langsung bekerja menulis tulisan. Semua awak redaksi menyambut gembira kehadiran Zul termasuk Rendi. Belum ada dalam sejarah liputan majalah Reforma menghadapi tantangan hingga pengorbanan luar biasa dari wartawannya. Bahkan nara sumbernya menjadi korban jiwa.
***
Di rumah haji Murod di dampingi istrinya menelepon anaknya Aisyah. Mereka cemas anak semata wayangnya belum pulang.
"Besok pagi Aisyah kembali ke Jakarta Pa, diantar sama anggota dari Polsek Sumurbatu," jelas Aisyah.
"Ya, Papa sudah menelpon Zul tadi, agar liputan ini dilanjutkan. Papa tahu resikonya sebagai tangan kanan Kemenag dalam penyaluran bantuan dana manfaat DAU. Semoga nanti perkara ini cepat selesai dan papa ingin konsentrasi lagi mengurus keluarga dan Pondok. papa sudah tidak mau lagi menjadi pengurus DAU," haji Murod menutup telepon.
"Ya Pa, semoga peristiwa ini menjadi momentum keluarga kita harmonis seperti dulu," ujar Mama.
"Ya Ma maafkan Papa ya, selama ini Papa tidak hanya mengurus Yayasan kita tapi ada yayasan lain sehingga tidak bisa konsentrasi. karena papa mendapat amanah dari Kemenag dan Papa memanfaatkan amanah itu, dan Papa siap menanggung resikonya " jelas haji Murod.
"Ya sudah Pa, kita ikuti prosesnya saja, yang penting semua selamat dan anak-anak bahagia," tutur istrinya.
Haji Murod mendekatkan diri sambil memegangi pundak istrinya.
“Maaf Ma, selama ini papa bohong karena Papa sudah menikah siri dengan wanita lain tanpa sepengetahuan Mama….” kata haji Murod.