Janji yang Terkunci Waktu

Alisha Ruiz
Chapter #1

Awalnya


Seorang wanita mengenakan baju sederhana tetapi cantik dan menawan dengan gelang berlian warna hijau berjalan menapaki jalan batu berlumut. Ia dengan perlahan mendekati kedai sup ayam yang mengepul bahkan terlihat sedap dari kejauhan. Selena Arvandis namanya, menarik tudung jubahnya sedikit lebih erat sambil membawa satu tas besar dan sebuah kantong kulit hitam seukuran bola.

Ia baru sampai di sebuah desa terkenal di bawah kaki Gunung Diskveil yang dihiasi lampu-lampu minyak sedikit bergoyang tertiup angin malam dengan riuh keramaian di tengah pasar sore. Suara pembeli menawar harga kain, anak-anak berlarian, dan tukang masak menyalakan apinya terdengar samar dan sangat hidup.

“Bibi, tolong berikan saya satu mangkuk sup yang besar dengan nasi yang banyak!” Ucapnya mendekati wanita paruh baya yang mengenakan celemek warna coklat, roknya agak lusuh karena menyeret tanah basah di kedai.

Selena duduk menempati meja kosong yang menghadap pada puncak Gunung Duskveil. Kedai itu cukup ramai tapi tidak sampai perlu mengantri, sebagian besar adalah lelaki muda atau ayah yang mengajak putrinya. Beberapa kesatria dengan pakaian rapi dengan pedang logamnya juga ikut menyantap sup terkenal ini, sedangkan beberapa yang lainnya sedang berpatroli mengelilingi pasar. Hanya Selene sajalah, wanita dewasa yang makan di kedai itu, unik memang.

“Silakan, Nona. Saya beri satu porsi pangsit rebus karena nona terlihat lelah.” Pemilik kedai akhirnya menyodorkan pesanan Selena yang tengah ditunggu-tunggu. “Apakah Nona pendatang?” Ujarnya sambil mengernyitkan jidat, penasaran dengan wajah baru di hadapannya.

“Saya hanya mampir beberapa hari untuk mencari batu giok, Bi,”jawab Selene menjelaskan “Ohya Bi, penginapan di sini di mana?”

Pemilik kedai menunjuk pada bangunan di balik pohon besar, searah dengan puncak Gunung Duskveil. “Di sini hanya ada Eryndal Inn milik Tuan Drake, Non”

Selene berterima kasih dan mulai melahap sup hangat itu. Sendok demi sendok ia masukkan ke dalam mulut tanpa mempedulikan tatapan sekitar. Ini adalah desa terkenal jadi orang sudah biasa melihat pendatang. Mungkin mereka hanya tidak terbiasa melihat wanita yang makan dengan porsi sebanyak itu dengan tingkah seperti orang kelaparan.

Salah seorang kesatria dengan baju yang paling mewah, tersenyum samar melihat cara Selena menyantap sup itu. “Wanita itu…” gumannya pelan hampir tak terdengar di tengah obrolan orang-orang.

Beberapa saat kemudia, Selene telah menyantap habis hidangan sorenya itu, lalu mengeluarkan kantong koin dari jubahnya. Hampir bersamaan, sekelompok kesatrian bangkit dari meja sebelahnya untuk membayar.

Lihat selengkapnya