Cuma sahabat yang boleh ngomong terlalu jujur.
“U gh! Ini kenapa toilet sekolah baunya kayak Bantar Gebang, sih? Busuk banget!” seloroh seorang gadis berambut hitam bergelombang seraya menutup hidungnya dengan tisu yang digenggam sedari tadi.
Gadis lain, yang baru masuk bersama gadis itu, menyatakan hal serupa. “Iya, nih! Pewangi ruangan aja nggak mempan. Pasti ada yang lupa nyiram, nih!”
Kedua gadis itu melongokkan kepala ke bagian bawah pintu toilet yang memang tak tertutup penuh. Nihil. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Mereka berdua tak tahu, di toilet paling ujung, Nirma mati-matian menahan suara dan menaikkan kaki ke atas kloset untuk menyamarkan keberadaannya.
“Udah, yuk, kita ke toilet lantai dua aja.” Ajakan salah satu gadis itu pada temannya membuat Nirma menghela napas lega. Saking leganya, suara kentut yang berusaha dia tahan sedari tadi akhirnya ikut terlepas juga.
“Tuh, kan! Ada orang!” pekik salah satu gadis itu jengkel. “Eh, yang di dalam, disiram yang bener, dong! Baunya parah, nih!”
Nirma membisu, tak berani mengeluarkan suara. Dia hanya bisa merapal doa sampai akhirnya terdengar suara pintu toilet dibanting dengan keras.
“Kenapa, sih, toilet ini nggak full music aja? Paling nggak, kan, bisa nyamarin suara kentut gue!” gerutu Nirma tertahan. “Huh! Gara-gara bakso sialan, nih!”
Gadis itu berdecak sebal sembari mengingat kembali kebodohannya saat istirahat pertama pagi tadi.
“Dua bakso beranak buat Non Nirma sama Non Alya.” Pak Jamil menyajikan dua mangkuk bakso beranak lengkap dengan sawi, toge, dan bihun.
Sangat sigap, Nirma langsung membelah sebuah bakso berukuran jumbo hingga terbuka dan menampakkan isinya berupa sejumlah bakso berukuran kecil.
Sepertinya, ulangan Matematika telah menguras habis pikiran dan tenaga gadis itu. Buktinya, baru beberapa menit, bakso-bakso kecil yang ada di mangkuk sudah habis dan hanya menyisakan bakso berukuran jumbo yang telah terbelah.
Kunyahan Nirma terhenti seketika tatkala manik matanya melihat objek favoritnya berada di kantin seberang bersama kawan-kawannya.
Dia Rajendra. Cowok berambut hitam short spike itu tengah menikmati nasi kebuli kesukaannya, sembari sesekali mendiktekan sesuatu dalam bahasa Inggris pada teman-temannya. Cowok itu tak mau meladeni protes mereka yang memintanya mengulangi kalimat yang tidak dimengerti.
Selalu saja seperti itu. Nirma kerap melihat cowok tersebut memberikan sontekan dengan cara mendiktekan tugas yang telah dikerjakannya, tapi enggan mengulang atau menjelaskan lebih lanjut jika ada teman yang kurang paham.
“Duh, manis banget, sih,” gumam Nirma sangat pelan, tapi ternyata masih mampu ditangkap indra pendengaran Alya, yang mungkin memiliki kemampuan setara lumba-lumba.