Kadang, mulut itu lebih cepat daripada otak.
Udah terlanjur ngucap, pantang nggak bertindak.
N irma menghela napas pelan saat sepasang manik matanya melirik ke luar jendela. Bulir-bulir air mulai berjatuhan membasahi bumi. Kali ini langit jauh lebih gelap dari biasanya. Dan benar saja, hujan yang semula hanya gerimis perlahan menjadi deras.
Ia melirik jam tangan digital merah marun yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ternyata pukul 16.25. Hari sudah semakin gelap dan sekolah mulai tampak lengang. Hanya segerombolan anak yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler terlihat berlarian untuk berteduh di sayap kanan sekolah demi menghindari derasnya hujan.
Seharusnya gadis itu bisa pulang dari tadi, kalau saja Pak Salman tidak memergokinya kentut saat presentasi pada jam terakhir.
Bagaimana tidak? Dalam keadaan perut mulas karena sambal, pertanyaan teman-teman yang tak ada habisnya saat presentasi, dan pikiran yang kacau karena menahan kentut agar jangan sampai terlepas keluar, Pak Salman malah menuduhnya akan kabur dari presentasi saat Nirma meminta izin pergi ke toilet sebentar. Alhasil, ia tak bisa menahan letupan angin neraka yang sudah sangat terdesak ingin keluar. Kelas yang awalnya ramai karena presentasi menjadi semakin gaduh akibat aroma menyengat yang menyebar begitu cepat.
Tak kuasa menahan malu, rasanya Nirma ingin pindah ke planet Nibiru saja.
Sayang, penderitaannya belum berhenti di situ. Pak Salman memintanya membantu menginput data siswa sebagai hukuman karena menyebabkan keributan di kelas.
Itu, sih, Pak Salman-nya aja yang males input data!
Nirma menggerutu tak karuan di teras sekolah yang lengang. Hari ini terasa sangat panjang baginya. Seperti hujan, rentetan kesialan menghampirinya secara bersamaan, membuatnya merasa teraniaya. Namun, kata orang, bukankah doa orang teraniaya akan terkabul? Nirma tersenyum geli mengingat doanya. Dia hanya berharap bisa dekat dengan Jendra, walau sepertinya itu tak mungkin.
Percikan air hujan membuat Nirma tersadar dari pikiran liarnya. Gadis itu kini menyesal karena tadi menolak sang kakak yang berniat menjemput. Ia berusaha menghubungi kakaknya lagi, tapi nyatanya nomor sang kakak tidak aktif.
Gadis itu masih mencoba menghubungi kakaknya tatkala seseorang berdiri tepat di sampingnya seraya membawa payung umum yang tersedia di teras sekolah. Nirma, yang awalnya menoleh sekilas, kini malah memperhatikan sosok itu dengan takjub.
Demi bokser merah Mas Giri! Gue nggak lagi mimpi, kan, Kak Jendra ada di sebelah gue?
“Ada yang salah sama muka gue?” tanya Jendra, yang merasa tak nyaman karena Nirma seolah ingin menelannya hidup-hidup.
Salah, Kak! Salah banget! Kenapa, sih, Kak Jendra ganteng banget?
“Uhm ... uhm ... nggak, Kak,” tukas Nirma langsung merunduk. Tanpa sengaja sepasang matanya melihat payung terlipat yang dibawa laki-laki itu.