Janna dan Pria Bersayap Api

DMRamdhan
Chapter #2

Terjun Bebas

Berawal dengan kematian ....

Kematian yang menyesakkan ….

Janna harus mengakui itu. Sesak yang tak terperi.

Gadis 16 tahun yang masih berseragam putih-abu itu duduk jongkok di dalam ambulan. Berderai air mata tanpa bersuara. Kerudungnya mulai tampak kumal karena sesekali ia gunakan menghapus air mata dan lendir dari hidungnya.

Jenazah itu terbujur di balik lima lembar kain kafan, terhalang dan terlindungi keranda jenazah milik masjid. Diam, geming, kaku. Yang biasanya terdengar riang dan terkekeh senang. Yang selalu memberi warna pada rona hidup Janna yang kerap dihinggapi kelabu. Kini sosok keriput bergigi ompong itu sudah tiada. Kembali Janna harus menelan pahit itu. Pahit getir kehilangan.

Oh, sungguh dia sudah menduga akan hal seperti ini. Dia yakin neneknya akan mendahuluinya, tapi ... ia tidak menyangka akan secepat ini.

Baru pagi tadi ia tinggalkan neneknya untuk sekolah, lalu siangnya Janna dijemput Pak RT kalau neneknya jatuh tak sadarkan diri saat berbelanja di gerobak Mang Dadang si tukang sayur. Bahkan Janna tak sempat berganti seragam saat ikut memandikan jenazah neneknya, menyalatkan bahkan ketika mobil ambulan milik kantor kecamatan datang, ia enggan lepas barang sejenak dari sisi jenazah neneknya.

Janna duduk jongkok, terhimpit sisi keranda dan sisi ambulan. Tidak hanya ruang yang sempit, ada sesak yang kian menggumpal dan menggelembung di dalam dada Janna. Sesak yang kemudian mendadak buncah saat ambulan berhenti dan pintu belakang dibuka. Pecah seperti bohlam kelebihan muatan listrik dan membuat Janna gelap mata. Gadis remaja itu menyeruduk keluar dan berlari.

"Janna! Janna!"

Janna terus berlari, tuli dari panggilan tetangganya. Ada yang mengejar, tapi Janna telah berniat untuk tidak tertangkap. Dia berlari sangat cepat. Ya, Janna terbiasa berlari.

Dia berlari setiap berangkat sekolah karena takut terlambat setelah membantu neneknya membungkus rempeyek untuk dijual, dia juga berlari pulang sekolah untuk menggantikan sang nenek menjaga warung. Ya, Janna memang terbiasa berlari.

Namun, kali ini lari Janna tanpa tujuan. Dia ambil langkah serampangan. Mengambil arah langkah asing yang tak pernah ia tapaki sebelumnya. Dia tidak peduli dengan tujuannya, asal sesak itu reda dan musnah.

Dia terus berlari hingga melihat seruas jembatan tua yang asing. Dia belum pernah melihatnya, apalagi melewatinya. Tapi ..., jembatan itu seperti menjanjikan rasa lega. Lega yang ditawarkan bila Janna bersedia melompatinya.

Dan Janna melompatinya. Tubuhnya sejenak melayang melewati besi berkarat dari pinggiran jembatan, sebelum patuh pada gravitasi yang menyeretnya ke dasar jembatan.

Sempat Janna melihat kaki jembatan tua itu tenggelam di permukaan sungai yang deras. Airnya menghitam bercampur limbah industri. Air yang memperlihatkan potensi antara tenggelam atau teracuni, mana yang lebih dulu merenggut nyawa Janna. Tapi Janna tidak peduli. Apapun bentuknya, ia berniat menyambut pencabut nyawanya, meski ada kelebat hati yang mengatakan kalau niat itu tidak akan Janna capai.

Ada hangat yang menggumpal di sekeliling tubuh Janna ketika dia terjun bebas. Namun kemudian ada bagian dari hangat itu yang beralih dingin, memadat dan menjadi dua ruas lengan yang menyambar tubuh Janna. Ruas lengan dari sosok hitam yang tetap hitam meski di balik punggungnya berpendar nyala api. Nyala api yang mengepak seperti sayap rajawali.

Percikan api dari sayap itu mendesis kala menimpa permukaan sungai, membentuk kabut uap namun sirna seketika oleh hawa panas kepakannya. Kepak sayap api itu membawa mereka kian tinggi, menjauh dari permukaan air sungai. Membawa tubuh Janna menjauh, menuju ruas jembatan.

Janna terpekur. Segalanya terasa lambat. Ia memang melihat permukaan air itu menjauh, tapi benaknya hanya bisa menangkap sensasi didekap dua lengan kuat itu. Sensasi yang tidak asing baginya. Sensai yang pernah dia rasakan satu setengah tahun lalu.

Dia mengingatnya. Sangat mengingatnya. Kala itu dunia sedang jungkir balik.

Dan menghimpit.

Pintu mobil di kiri-kanan Janna kian mendekat seiring bahu, leher dan kepalanya kian berguncang. Lalu, dia melihat mobil terbelah, memisahkan kabin depan dan kabin belakang mobil .... Memisahkan dirinya yang duduk di belakang dengan Ummi-Abbi yang duduk di depan.

Saat itulah Janna melihatnya. Sosok siluet hitam dengan latar api merah menyala. Mendekat dan sangat cepat. Menyambarnya. Membebaskan tubuh Janna dari cengkraman logam-logam yang kian menghimpit akibat hantaman kuat truk yang hilang kendali di jalan tol.

Kini dia merasakannya lagi. Dekap dari tangan yang menjelma dari ketiadaan. Menjelma saat dirinya terancam maut.

Dua lengan hitam pekat itu melepas Janna di atas jembatan dan kemudian mengambang di atasnya. Membiarkan Janna terduduk di ruas rusak dan berbatu dari jembatan tua tak terurus.

Janna menengadah. Menatap lekat wajah tak berupa selain gelap bertepi nyala merah sayap api. Wajah yang tidak tampak lekuk mata, hidung, pipi atau mulut. Hanya hitam. Hitam yang tak terdistorsi cahaya.

Siapa? gumam batin Janna.

Lihat selengkapnya