Janna dan Pria Bersayap Api

DMRamdhan
Chapter #3

Pabrik Tua

Seperti bangkai tak terkubur, bangunan-bangunan tua itu terlentang di balik pagar kawat berkarat. Dari bentuknya seperti barisan gudang, namun ada beberapa bangunan yang tampak jelas memiliki fungsi lain—dengan barisan cerobong asap menjulang—Janna tidak bisa menyangkal asusminya kalau kompleks bangunan di balik pagar kawat itu pernah berfungsi sebagai pabrik.

Janna memperhatikannya setelah cukup lama berjalan menyusuri pagar kawat, mengikuti langkah Arie. Awalnya ia menyangka akan memasuki gerbang tua di ujung jalan lepas dari jembatan tadi, tapi ternyata keliru. Arie memutar langkah ke kanan di gerbang itu, menginjaki rumput liar yang tinggi-tinggi, menelusuri pagar kawat. Janna ikuti jejak Arie—persis di atas jejaknya karena jalur yang diambil Arie jelas yang paling aman (jikapun tidak, Arie lebih dulu yang celaka).

Sempat terpikir oleh Janna kalau remaja tanggung berbalut sweater abu-abu, celana jeans kumal dan sepatu kanvas yang berjalan di depannya itu punya niat jahat, tapi penilaian itu kurang berdasar. Dia lihat tinggi Arie sama dengannya, dan meski Janna perempuan, Janna pikir dia tidak sepenuhnya tidak berdaya—punya beberapa trik yang bisa melumpuhkan. Tapi dari gelagatnya, pemuda itu tidak ada niat jahat, meski tidak seratus persen yakin juga.

Lagipula, pikir Janna, dia sudah melihat pria bersayap api itu, `kan? Pastinya dia tidak akan macam-macam. Lagipula …

“Untuk ukuran orang yang suicidal, kamu cukup hati-hati, ya? Agak paradoks juga,” ucap Arie memecah keheningan di antara mereka.

“Apa maksudmu?” Ada kesal dari nada suara Janna.

“Kamu mengikuti jejak aku supaya aman, bukan?”

Janna tercenung sejenak. Dia memperhatikan?

“Sekarang pun kalau kamu mau mati, tinggal gigit aja lidah kamu dan biar mati kehabisan darah,” tambah Arie, terdengar ringan, datar dan tidak bisa dibedakan antara serius atau bercanda.

Kesal Janna sempat memuncak cepat, tapi dengan cepat pula meluncur turun karena benaknya mendapat jawaban yang segera dia utarakan.

“Aku mungkin memang berniat mati, tapi aku juga tidak ingin tersiksa dalam prosesnya.”

Arie terkekeh. “Tidak bisa lebih setuju lagi,” ucapnya.

Janna mengerenyit heran. Bukan karena konten jawaban Arie tapi dari nada suaranya yang melandai setelah terkekeh, yang seolah ada perubahan pendapat di tengah kalimatnya. Ia perhatikan punggung bocah remaja itu. Arie mengatakan semua itu tanpa menoleh ke arahnya. Tidak bisa melihat bagaimana air mukanya saat mengatakan itu, tapi Janna merasakan ada kesan sedih.

“Kenapa?” tanya Janna.

“Kenapa apanya?”

“Tadi kamu seperti hendak berkata lagi. Seperti tidak sepenuhnya setuju.”

“Oh, aku setuju. Aku setuju kalau aku mau mati tentunya memilih yang tidak sakit, tapi … sepertinya itu bukan pilihan kita, deh? Malah, apapun bentuknya, kematian pasti menyiksa. Analoginya seperti ini. Coba bayangkan plester yang menempel di sekujur tubuh kamu, lalu kamu membiarkannya lama bertahun-tahun, lalu suatu hari kamu tarik lepas plester itu tiba-tiba. Coba, bagaimana rasanya? Apa lagi nyawa yang melekat di raga, ya, `kan?”

 Janna menghentikan langkahnya.

“Maksud kamu nenekku mati tersiksa?” tanya Janna. Ada amarah menggemuruh, yang sebenarnya tidak tertuju pada Arie, melainkan pada kematian itu sendiri, kepada hidup, kepada Tuhan yang menciptakan semua itu.

Kenapa juga kita mesti hidup?!

Arie juga menghentikan langkahnya dan menoleh, menatap Janna. Wajahnya tampak datar, hampa emosi.

“Kamu tidak mengerti soal kematian, ya?” ucap Arie, terdengar seperti gumaman yang ditujukan untuk dirinya sendiri, tapi tetap saja terdengar oleh Janna.

“Memangnya kamu tahu apa?!” pekik Janna. Kini amarah itu tertuju pada Arie.

Lihat selengkapnya