“Tidak hari ini, Kakek Tua!”
Janna mendengar Arie memekik kencang, memberi alasan untuk melonggarkan katupan matanya dan mengintip. Dia melihat Arie terjatuh menuju mulut raksasa yang tampak elastis seperti karet dan terbuka, menunjukkan barisan taring kuning dan ujung gelap di kedalaman mulut itu. Tapi dilihatnya Arie tidak sudi masuk ke salamnya. Arie memutar tubuhnya di udara, membangun ayunan kaki yang kemudian menendang sisi dari mulut “lentera” itu hingga gagal menyantap tubuh Arie.
Tidak mau menyerah, satpam tua dan lenteranya kembali menerkam ketika Arie menjejakkan kaki. Arie berguling menghindari mulut besar “lentera”nya dan kemudian melompat menjauh. Satpam tua itu melayang cepat mengejarnya.
“He-hey! Nama kamu Janna, `kan? Cepat turun! Bantu aku!” pekik Arie searaya melompat mundur menghindar terjangan mulut “lentara” kakek satpam itu.
“A-Aku bisa bantu apa?” tanya Janna kencang.
“Hanya … hanya pegang tanganku saja!”
Janna mengerenyit heran sebelum memberi perintah kepada pria bersayap api yang masih mencengkram pinggang Janna.
“Turunkan aku!”
Cukup mengejutkan bagi Janna, tidak memyangka kalau pria bersayap api itu akan menurut.
Ketika Janna menjejakkan kakinya, Arie telah mendekat dan menyambar tangannya.
“A-aku bersama dia!” pekik Arie.
Dilihatnya satpam tua itu berhenti, dan kepala raksasa yang menggantung di tangannya beralih rupa menjadi lentera utuh. Janna saksikan transisi magis dari perubahan sepotong kepala bertaring yang dipegang kakek tua itu di rambut gimbalnya. Mata yang memanjang menjadi gelas kaca, mulut dan hidung yang menurun hingga menjadi dasar logam lentera. Sebuah transisi yang mustahil masuk akal Janna.
“Ah, iya. Maafkan saya. Jangan salahkan saya karena mencoba memenuhi selera saya,” ucap satpam tua itu datar, namun tersembunyi nada mencemooh. “Mari. Saya antar ke pintu.”
Janna terpekur. Otaknya yang masih mencerna transformasi kepala monster yang menjadi lentera, lalu perubahan sikap yang tiba-tiba dari satpam itu membuat Janna berbisik pada dirinya sendiri, “Apa ini mimpi?”
“Bukan. Dia hanya penjaga pintu. Dia tidak mengijinkan siapapun yang tidak mempunyai Titan masuk kawasan ini,” jawab Arie ringan. Dia tarik lengan Janna dan mengikuti langkah satpam tua itu. “Aku aman kalau aku bersama kamu.”
“Monster sebagai penjaga pintu?” suara Janna masih berbisik.
Arie berpaling ke balik punggung Janna. Pria bersayap api yang tadinya mengambang, kini menjejakkan kakinya di belakang Janna.
“Kalau kamu sebut itu monster, ya dia yang di belakang kamu itu juga monster. Mungkin hanya soal istilah. Aku menyebutnya Titan karena terdengar lebih keren.”
“Kamu tidak punya?” tanya Janna, yang segera mendapat gelengan kepala Arie. Tapi Janna mendapat kesan kalau gelengan kepala itu hanya cara Arie memperpendek percakapan.
Jeda diam yang mengisi langkah mereka, terputus oleh perkataan satpam tua itu yang telah mencapai pintu sebuah bangunan besar dan membukanya.
“Silahkan masuk.”
Pintu itu cukup besar, cukup untuk pria bersayap api itu ikut masuk, meski ketika Janna melirik ke belakang, dia baru menyadari kalau dia sudah menghilang.
Setelah Janna dan Arie masuk, pintu kembali ditutup oleh satpam itu, mengurung mereka berdua dalam gelap. Takut seketika menyeruak dalam dada Janna dan itu memancing pria bersayap api itu kembali muncul. Nyala sayap apinya seketika menerangi ruang gelap di sekitar mereka.