Setelah lift berhenti, Arie membukakan pintu untuk Janna dan pria bersayap api. Janna tidak segera keluar karena di depan lift itu terdapat koridor yang terang benderang. Dengan dinding warna krem pastel dan beberapa pot tanaman hias di tiap sisi seolah menyambut kedatangan mereka. Jauh—sangat jauh—berbeda dengan kondisi lift yang berkarat, apalagi kondisi bangkai pabrik di atas mereka tadi.
Kita sebenarnya seberapa dalam di bawah tanah? pikir Janna.
“Ya, aku tahu. Kontras banget, ya. Tapi, jauh di balik koridor itu juga kamu bakal lihat yang lebih gila lagi,” kata Arie, masih memegang pintu besi berkarat lift.
Janna melangkah, diikuti sosok titannya. Arie menutup pintu kembali dan otomatis lift kembali naik setelah Arie mengimbangi langkah Janna.
Ketika langkah Janna menapaki lantai pualam koridor, dia tidak bisa menyingkirkan kesan kalau dia sedang memasuki semacam gedung perkantoran. Terlebih lagi, di ujung koridor terdapat gerbang kaca putih dengan dua daun pintu dan di permukaan dua daun pintu itu terdapat tulisan seperti membentuk logo perusaahaan.
HADES
Pintu itu terbuka, hanya sedikit, cukup untuk memberi jalan seorang perempuan berkerudung putih dengan setelan pakaian resmi warna hitam—celana panjang dan blazer, juga sepatu hak tinggi. Senyumnya pun menunjukkan seorang profesional. Hanya saja, yang seketika menyita perhatian Janna dari perempuan itu adalah matanya—merah, semerah darah, dengan pupil yang juga merah tapi lebih gelap.
“Tuan Arie, Anda kembali dengan membawa kontestan baru rupanya,” sapa perempuan muda itu setelah mendekat.
“Benar, Nona Ash. Perkenalkan, ini Janna dan … Pria Bersayap Api,” balas Arie sambil sedikit menyerongkan badan, memberi gestur memperkenalkan Janna dan titannya.
Perempuan muda bernama Ash itu tersenyum ramah sambil mendekati Janna dan menjulurkan tangan.
Agak ragu, Janna menjabat tangan itu.
“Saya Ash Urbaningrum, panggil saja saya Ash.”
“Saya Janna.”
“Sepertinya cowok ini belum menjelaskan apa-apa soal kami, ya?” Ash berpaling kepada Arie sambil mengubah senyumnya menjadi sinis, meski nada suaranya masih terdengar ramah.
“Yah, menunjukkannya lebih mudah daripada menjelaskannya,” tangkis Arie, menghindari tatapan Ash.
Ash mengabaikan jawab Arie. Dia memutar langkah sambil berkata, “Mari, Nona Janna. Ikuti saya.”
Mereka bertiga mengikuti langkah Ash dan hanya suara sepatu hak tinggi perempuan itu yang terdengar hingga mereka sampai pintu.
“Hades itu perusahaan di bidang apa?” tanya Janna sungkan, setelah matanya lepas dari tulisan yang tertera di pintu.
Ash terkekeh, “Maaf, ini bukan perusahaan. Ini memang dunia bawah Hades. Nona Janna tentu pernah mendengarnya dalam mitologi Yunani kuno, bukan?”
“Eh, tapi itu di Yunani.” Janna sempat terperangah.
“Yah, seperti kita hidup di bawah langit yang sama, kita juga berpijak di bumi yang sama. Dunia bawah tidak terlalu diskriminatif tentang batas negara atau peradaban,” jelas Ash yang kemudian dengan elegan membukakan pintu untuk Janna.
“Selamat datang di Hades.”
Janna kembali terperangah saat melihat ruangan di balik pintu itu.
Sebenarnya tipikal ruang lobi—luas, terang, dengan meja resepsionis di salah satu sisi ruangan dengan beberapa staf yang sedang melayani tamu. Janna melihat salah satu dari tamu di meja resepsionis adalah seorang laki-laki kekar berjanggut lebat dengan jaket kulit dan kacamata hitam, namun bagian bawah pria itu seperti seekor kuda—tentu saja tertutupi kain dan tidak telanjang, malah bahan jeans yang menutupi bagian setengah kuda itu membuatnya tampak seperti pengendara motor gede ala Amerika.
Centaurus? gumam batin Janna sambil kembali mengikuti langkah Ash masuk ke dalam ruang lobi itu. Matanya masih terpaku pada sosok manusia setengah kuda itu. Centaurus adalah mahluk mistis dalam mitologi Yunani berupa setengah manusia dan setengah kuda.
Ka-kalau begitu … Hades ini … alam akhirat di mitologi Yunani?
Laki-laki setengah kuda itu tidak sendiri, malah yang sedang berbicara dengan staff resepsionis itu adalah seorang gadis. Gadis itu tampak sebaya dengan Janna, atau mungkin lebih tua sedikit. Seperti centaurus di dekatnya, dia juga memakai jaket kulit dengan celana jeans—hanya sepatu boots hitam dan pelindung lutut yang membedakannya. Dia juga membawa sebatang tongkat besi yang bersandar ke bahunya. Meski sekilas, Janna bisa menebak kalau gadis itu petarung tangguh.