Ash Urbaningrum, nama yang aneh—setidaknya menurut Janna. Nama itu juga tertera di name tag yang tersemat di kerudung putihnya, di dada kirinya. Dia memang tampak dewasa dengan pakaian resmi seperti itu, tapi juga sekaligus tampak akrab dan kental kesan sebaya dengan Janna.
Seperti kakak kelas, pikir Janna. Tapi …
Janna mesti akui, dia tidak bisa melepas perhatiannya dari mata gadis itu. Merah darah, namun tampak jernih. Apa dia manusia?
“Ada apa? Aku perhatikan kamu lirik-lirik terus.”
Janna sempat terperanjat dan segera merunduk. Dia dan Ash sedang duduk berhadapan di meja sebuah kafe dan masing-masing sedang menikmati sepotong roti lapis dan sebotol air. Ash yang mentraktir, tentu saja. Janna tidak menyangkanya. Ketika Ash mengajaknya menonton sebuah pertarungan, dia menyangka akan dibawaanya ke semacam arena octagon di tengah ruangan luas dan mesti duduk di barisan bangku yang mengililingi arena itu. Tapi ternyata, dia diajak ke sebuah kafe, lewat lift yang sebelumnya dia naiki bersama Arie (dan pengalaman menaiki lift yang hanya berselang satu detik itu membuat Janna harus berhenti menduga kalau itu lift, meski tidak tahu harus memanggilnya apa).
Kafe itu cukup ramai. Meski pengunjung kafe itu kebanyakan manusia sepertinya, Janna sempat melihat sosok-sosok tak lazim seperti perempuan berambut ular atau laki-laki kekar berkepala harimau. Mungkin ketidaklaziman itu yang membuat Janna melihat mata Ash dan menyangka gadis itu bukan manusia biasa.
“Ma-maaf. Tapi … mata kamu ….” Janna tergagap.
“Oh. Aku dulu juga seorang petarung. Aku dulu punya pengawal elemen udara bernama Stratos. Kami kalah dan aku sempat cedera. Mata ini hasilnya. Ada pembuluh darah yang pecah di mataku.”
“Oh, maaf.”
Ash mengibaskan tangannya. “Tidak usah minta maaf. Justu dengan mata ini, aku bisa bekerja pada Nyonya Kore.”
“Nyonya Kore? Aku jadi penasaran, siapa beliau sebenarnya? Tadi melihat Arie seperti pemanasan dulu untuk menemuinya, apa beliau petarung juga?”
Ash terkekeh. “Bukan, bukan! Kalau aku menyebutnya dengan nama Persefone kamu akan tahu?”
Janna menggeleng. “Apa dari mitologi Yunani juga?”
“Yup! Ratu dunia bawah.”
Lalu Janna rasakan suasana kafe berubah. Janna beralih memperhatikan sekitarnya dan melihat semua pengunjung menatap satu arah. Janna perhatikan mereka melihat ke salah satu sisi ruangan dan melihat dinding di sana beralih warna dan kemudian bergerak seperti sebuah layar. Lalu dilihatnya di layar itu wajah paruh baya berjanggut putih lebat dengan kepala setengah botak berkuncir panjang yang juga sudah memutih. Tubuhnya tampak kekar dengan balutan kaus hitam berkerah, celana katun yang juga hitam dan sarung tangan yang juga hitam. Dia memegang mikrofon dan berbicara dengan suara lantang.