Pisau sudah di tangan tetapi tak kunjung menyayat. Kuberitahu jujur, aku takut. Aku takut untuk mati juga tidak berani menjalani hidup, lalu otakku mencari alasan: aku ingin tidak pernah hidup tetapi jika aku tak dilahirkan, begitu pula kamu. Dan aku tidak mau itu, kemudian hidup terus berlangsung.
Sampai aku cukup bertumbuh untuk melihat gambaran luas, tidak pernah sekali aku membuka halaman kelam itu: jelas sekali egoku meyakinkan bahwa kamu adalah satu-satunya alasan, anehnya aku merasa benar jika begitu. Dan dengan adanya tulisan ini aku menyadari kekonyolanku—janganlah mengejekku, kumohon.
Kalau kamu izinkan aku memosisikan pandanganmu lihatlah aku sebagai pengecut juga pemberani. Untuk kondisinya kau sesuaikan saja sendiri menurut kriteriamu. Namun perbolehkan aku untuk penasaran, situasi seperti apa yang akan membuatku terlihat sebagai pemberani? Dan jangan sekali kamu mengaku malu terhadapku, untuk satu ini terima saja ke-tidak-tahu-malu-an-ku ini: bukankah aku cukup baik kepadamu untuk menerimanya?
Mungkin kamu sudah menyadari, aku memiliki sisi lembut terhadapmu. Aku sering berprasangka kau benar mengetahuinya dan memanfaatkannya dengan baik. Bagaimanapun tidak penting. Tapi tahukah kamu sering membuatku jengkel? Orang bilang perasaanku tertulis di muka jadi kuanggap saja kau tahu, tapi kamu masih saja membuatku jengkel; apakah karena kautahu aku tidak bisa marah lebih dari tiga hari kepadamu?
***
Sejauh ini mungkin kamu sudah paham bahwa semua perlakuan baikku beralaskan hal yang tak seharusnya. Jika Robinhood dianggap salah karena perbuatannya mencuri dari pegawai korup untuk dibagikan kepada fakir, maka menurutmu aku akan didakwa sebagai apa? Apapun aku, ganjarannya adalah terus memperlakukanmu dengan baik. Tidakkah kausetuju?
Biar kuperjelas di bagian ini meski kau mungkin sudah paham. Naira, kebaikanku bukanlah rasa kasih sayang seorang kakak melainkan bentuk penebusan atas apa yang telah aku pikirkan. Jadi ketika kau sebegitu percaya padaku, bagaimana pula aku harus menjelaskannya? Pertama maafkanlah dulu kakakmu ini.
Malam itu kamu kaku sekujur tubuh, aku dan seisi keluarga khawatir, kau pun dibawa ke praktik dokter oleh Kakak. Napasmu tersenggal seolah ada sebongkah batu menyumbat di sana. Ketika kau dinaikkan ke motor, tetangga pada bertanya, Ibu pun semakin histeris. Kamu tahulah Ibu, dia satu-satunya yang kuanggap berani bicara. Aku, Ibu, dan Ayah di rumah sementara kamu dibawa pergi oleh kedua kakak kita. Tempat praktiknya tidak jauh, aku bisa saja berjalan ke sana bersama Ibu dan meredakan kekhawatiran tapi Kakak bilang, tak perlu. Aku paham dan hanya diam. Ibu terus khawatir dan Ayah mencoba menenangkan tapi lagi-lagi tak berhasil.
Namun tak lama kamu memanggilku. Aku tidak paham tetapi tetap membiarkan Kakak Laki-laki untuk menjalankan motor dengan baik hingga selanjutnya aku sudah duduk di depan dokter.
Dokter bertanya: "Menurut Kak Dria, Naira ini kenapa?"
Aku melihati kamu yang duduk di sebelahku, kamu yang sekarang tidak seperti dirimu, yang begitu sibuk dengan urusan di luar. Kau terlihat seperti orang yang seharusnya tidak menyibukkan diri dengan banyak hal. Jadi kukatakan: "Dia akhir-akhir ini ikut banyak kegiatan, Dok, di sekolah. Mungkin kecapekan."
Dokter menggeleng. "Endak, kalau begini bukan karena kecapekan." Dia memegang tanganmu, Na, menunjukannya padaku, tanganmu yang kaku itu. Aku masih tidak paham.
"Bagaimana dengan kondisi di rumah? Ada masalah?"
Tentu kamu masih ingat bagaimana aku menjawabnya. Na, aku tidak bisa sepenuhnya blak-blakan, kusisakan porsi untuk kehormatan keluarga. Aku tidak seharusnya begitu, bagaimanapun aku tetap melakukannya dan memilih pergi jauh ke belakang ke waktu kau memintaku untuk mengoreksi cerpen tulisanmu. Kaubilang, itu tugas.