Seingatku aku pernah menceritakan bagian ini padamu, meski begitu tetap akan kutulis di sini. Kamu boleh langsung melanjutkan ke bagian selanjutnya, tapi mengingat betapa buruknya aku bercerita, mungkin kamu akan lebih memahami versi tertulis ini. Bagaimanapun, keputusannya di tanganmu.
Waktu itu adalah kebebasan setelah Covid. Sekolah kembali berlangsung seperti biasa: tatap muka, setelah dua tahun hanya di depan layar.
Aku kesulitan mendekati teman sekelas yang hanya kukenal gaya bicaranya di WA. Setiap kali merekalah yang datang padaku, memulai percakapan, atau hanya diam-diaman. Bagaimanapun aku tetap memiliki teman meski ada kata 'sekelas' yang mengekorinya. Kurasa memang selalu seperti itu: teman sekampung, teman sewaktu SMP, teman sepemikiran, juga teman selagi butuh.
Kuharap itu tidak akan pernah muncul sebagai kamu seperti aku yang menyedihkan ini.
Selama karantina, kau tentu tahu apa yang kulakukan. Kita berada di rumah yang cukup untuk dijadikan tempat berteduh tujuh orang, tidak untuk menyembunyikan sesuatu di dalamnya.
Hari-hari Covid sebelum SMA penuh dengan lamunan, saat itu pulalah aku membuka halaman kelamku. Sekarang bukan waktunya aku bercerita tentang itu, tetapi kupastikan kita akan sampai di sana pada akhirnya.
Sewaktu SMA, aku membeli handphone dan semenjak itu aku mengeksplor ide-ide. Kata kunci yang paling menarik bagiku adalah youth. Sehingga suatu waktu, aku begitu tertarik dengan olahraga anggar, dan kamu yang mengetahui ketertarikanku mengabarkan berita besar: ada klub anggar di Kota.
"Temanku ada yang juara popda anggar. Kata dia, klubnya gratis, alat-alatnya udah disiapin dari sana. Mas kalau mau tinggal ke sana aja, mereka latihan di gedung PMI lantai dua," ujarmu.
Aku masih saja tidak percaya meski kamu sudah bicara seperti itu. Kamu tahu, semua olahraga mahal.
Jadi aku mencari tahu tentang klub itu. Kutemukan akun instagramnya, di sana tertera kontak personal; langsung kuhubungi untuk mengonfirmasi informasi. Waktu itu aku masih di sekolah ketika semuanya terkonfirmasi. Betapa senangnya aku, kurasa begitu terlihat sampai Mas menanyaiku.
"Ini, kayaknya aku bakal jadi atlet juga," jawabku.
Naira, kamu kenal Mas. Dia adalah yang menanyai kondisimu setelah kau dibawa ke uks, orang yang sama yang kauceritakan tiba-tiba duduk di sebelahmu ketika kamu sedang makan bersama teman dan menanyai kabarku yang tidak berangkat.
Dia seangkatan denganku, bahkan merupakan teman sekelas. Alasanku memanggilnya Mas tentu kau bisa menebak. Tubuhnya tinggi besar, yang terbesar di kelas, dan dia adalah anggota baru tim basket waktu itu. Bayangkan jika dia bertambah tinggi—bagaimanapun dia masih dalam masa pertumbuhan kan.
Kepercayaan dirinya juga sebesar tubuhnya, berbanding terbalik denganku: fisiknya juga kepribadiannya. Tentu aku tidak benar-benar mempertanyakan adakah hubungan antara keduanya. Dari kepercayaan dirinya itu dia memiliki banyak teman, juga musuh. Itu yang dikatakannya padaku, yang bagaimanapun tetap membuatku iri.
Satu waktu dia nyeletuk: "Ada adik kelas ngatain kamu sombong."
Aku mengangguk saja dan termenung. Aku tidak kenal banyak adik kelas jadi siapa orangnya sudah tertebak. Kau juga tahu, Na, dia adik kelasku sesama atlet anggar yang pernah kautemui ketika menghadiri kompetisiku. Jika benar seperti itu, maka seperti ini kejadiannya:
Saat itu pulang sekolah dan semua murid menuju keluar. Lobi sekolah kita kurang besar sehingga alur jalannya tidak lancar untuk dilalui banyak orang.
"Mas Dri," panggilnya dari lantai dua. Aku menengadah sekilas dan tersenyum tipis, tipisnya keterlaluan memang. Itu bukan satu-satunya: sering ketika aku berpapasan dengannya aku hanya menundukkan kepala cepat, seolah dia tetua atau sesuatu yang perlu dihormati. Kurasa itu tidak dikategorikan olehnya sebagai salam; sayangnya aku tidak bisa lebih peduli. Membiarkannya saja.
Sebagai pembelaan, aku tidak pernah mengingat nama orang ketika bertemu secara tiba-tiba sehingga aku bertingkah kikuk. Aku pernah tiba-tiba sekali dipanggil teman sewaktu-SMP-berlanjut-ke-SMA-ku lalu ditanyai sesuatu.
"Oh, hai!" jawabku dengan cepat, kemudian segera duduk di sebelah gerombolan temannya dan mengiriminya pesan: [Aku di sini buat promosiin klub peminatanku] yang adalah jawaban dari pertanyaan yang tak sempat kujawab tadi.
Aku tahu, Na. I can't socialize.
Namun kamu berkemampuan, Na. Teman-temanmu baik sejauh yang kulihat dan yang kauceritakan. Kau pun orang yang bersungguh-sungguh. Naira, kuharap semua maksud baikmu selalu sampai.
Jika satu harus kukatakan kenapa kamu harus berpikir dirimu kuat, yaitu kesungguhanmu.