Jantung Naira

Syah
Chapter #4

Final Prolog

"Hidup jangan dibuat untuk bersedih terus." Itu kata Ibu.

Semasa karantina aku banyak berpikir, rupanya itu terprojeksikan sebagai kesedihan pada raut mukaku.

Apa kau juga menyadarinya, Naira? Apa menurutmu aku sedang bersedih juga?

Kurasa aku memang demikian. Tiada yang mengalihkan perhatianku, aku tidak punya handphone waktu itu, bahkan obrolan ketika sarapan pun tidak punya. Aku memang seringnya tidak sarapan, tapi memang pada awalnya obrolannya saja tidak ada.

Pagi saat aku menulis ini, ketika sarapan, Ibu bercerita padaku. Dia bilang, ketika makan pahit harus sambil bercerita, biar tidak terasa pahitnya. Tadi ketika masak Ibu memasukkan bumbu nasi goreng terlebih dahulu, sehingga ketika nasi ditambahkan dan diaduk, yang menyelimutinya adalah warna hitam bumbu terlalu matang. Aku tersenyum saja mengiris telur, menaruhnya di piring nasi goreng dan menyendokannya ke mulut. Aku dan Ibu makan dari satu piring, atau dua karena dua telur yang didadar satu berada di piring yang berbeda. Telur adalah penetralisir, kata Ibu.

Naira, kamu tahu, Ibu sering bercerita. Tapi mungkinkah kamu penasaran, rasa pahit apa yang sedang dirasanya?

Naira, kamu tentu tahu, aku dan Ibu punya hubungan kompleks sedari aku masih bayi dulu. Aku tahu pertama kali dari kata orang, sampai sekarang kita tidak pernah membicarakannya dengan benar, hanya orang-orang lain yang sesekali mengangkatnya mengingatkanku, pun kalau kakak-kakak membuka topik itu aku tak berani menyuarakan pikiranku. Mereka terus bicara, kita tidak: kita berlalu. Aku hanya tahu mendengar. Aku rasa, jika aku bicara maka aku lancang.

Ketika aku sedikit besar ada beberapa yang bertanya langsung kepadaku seoalah itu biasa. Iya, aku anak Ibu yang satu itu.

Naira, kamu tahu maksudku.

***

Malam berganti, hanya satu kali bulan purnama yang kudapati bersinar terang menembus genting kaca di rumah. Sekarang aku sudah jauh, tiga jam perjalanan jauhnya dari rumah. Namun tetap terbangun pukul setengah tiga, seperti biasa.

Naira, tentu kamu tahu apa-apa yang dikhawatirkan Ibu. Aku tahu kau mendengarkan karena merasa nantinya juga akan merasakan.

Ini adalah suatu yang seharusnya membuatku malu, aku pun tidak paham kenapa aku menuliskannya. Mungkin seperti biasa, agar aku merasa ringan.

Ketika aku menulis ini, ruangan gelap. Pintu kamar terbuka, semua pintu kamar terbuka, ada orang-orang tidur di sana. Terdengar suara ketikan, tapi aku tidak tahu jelas dari siapa. Tadi ada yang bilang, nanti begadang sampai jam dua. Sekarang hampir pukul tiga, aku tidak merasa perlu memeriksa: ada banyak orang di sini. Ya, ada banyak orang di sini.

Dan aku adalah orang pertama yang tertidur, itulah ingatanku sebelum lelap. Mungkin sekarang juga pertama yang terbangun.

Aku sampai asrama pukul sepuluh pagi. Kepergianku secepat gempa yang baru-baru ini melanda kota kita, membuat gelisah tidak terlalu lama—bagi warga kampung kita yang tidak terkena dampak buruk.

Waktu itu kau menjerit membangunkan Ibu, dan tidak sengaja menatap langit-langit, kau menjadi sangat gelisah. Di kemudian hari kita lupa, kau mampu menenangkan diri.

Naira, ketika Ibu pulang ke rumah apa dia cerita yang mengganjal dalam dirinya? Tidak tahu kenapa, aku merasa ada yang membuat Ibu merasa tidak nyaman, selalu begitu. Atau akulah yang janggal?

Tadi salah satu anak asrama satu angkatan denganku bertanya "Tidak menangis?" ketika Ibu dan Bapak pulang dari mengantar aku.

"Nanti malam," becandaku. Sekarang aku menulis.

Apakah kekhawatiran Ibu adalah benar? Aku selalu merasa Ibu orang yang frontal, dia mengatakan apa di pikirannya. Namun pikiran Ibu bukan yang nyata. Tentu pemikiran itu suatu nyata dalam bentuknya. Dan sekarang itu terasa benar.

Lihat selengkapnya