PRANKKK!!!
Suara itu mulai menyadarkan gendang telingaku, perlahan kedua kelopak mata ini mulai terbuka walaupun mereka menolaknya. Ahhh... lagi-lagi kejadian ini terulang kembali yang membuat hidupku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikiranku.
“Pergi kau! Kau tak pantas ada disini!”
“Aku hanya ingin melihat dia! Mengapa kamu terus menghalangiku hah?!”
Aku terus mendengarnya secara seksama di balik pintu kamarku. “Melihat siapa? Dia sebenarnya siapa? Apakah dia orang jahat?”
Kutarik tubuh ini dan kakipun segera melangkah menuruni anak tangga, kedua bola mata ini kembali menyusuri asal suara orang tersebut. Ternyata orang tersebut sudah pergi, hati pun kembali lega dan jantung mulai berdetak secara beraturan. Kuperlahankan langkah kakiku agar tidak terkena pecahan beling piring yang berserakan di lantai. Aku menatap wajah orang yang telah membersarkanku sepenuh hati, rasanya tak kuasa hati ini melihat wajahnya dibasahi oleh air mata yang terus mengalir tanpa henti.
“Maaa...”
Segera ia hapuskan sisa air mata yang mengalir di wajahnya, dan memberikan senyuman yang amat penuh dengan cinta kasih.
“Ada apa nak?” tanyanya.
“Setiap kali aku pasti mendengar suara orang itu di rumah kita. Sebenarnya dia siapa ma?”
“Itu bukan siapa-siapa nak.”
“Mama jujur saja sama aku ma, kalau dia itu orang jahat, aku bisa lapor polisi secepatnya. Keberadaan orang itu selalu mengganggu kehidupan kita, hidup kita berubah menjadi tidak tenang. Aku ingin hidup tenang dan bahagia, ma. Aku ingin melihat mama tersenyum hari demi harinya, bukan air mata yang terus mengalir. Tidak bisakah aku dapatkan itu semua, ma?” ucapku sedari terisak di pelukan ibuku.
Tak terasa cahaya matahari mulai menampakkan dirinya yang bersiap-siap untuk memulai hari yang baru, dan tentunya aku berharap hari yang penuh dengan kebahagiaan segera menghampiriku. Aku mulai mempersiapkan diri menuju tempat bagiku untuk menimba ilmu. Yah... tempat untuk menimba ilmu yang seharusnya aku dapat merasakan rasa nyaman serta gembira, bukan menjadi tempat yang aku hindari dan takuti. Entah mengapa setiap kali aku menginjakkan kaki ini di halaman sekolah, batin ini selalu begejolak bagaikan 2 kutub magnet yang sama saling didekatkan. Perasaan takut selalu bermunculan di dalam diri ini.
“Hey, coba lihat!” pekik Jasline salah satu siswi berkulit putih, bermata biru, berambut pirang dan selalu memperlihatkan aksesoris yang mewah bermerek internasional menempel pada bagian tubuhnya yang indah. Dalam hatiku kembali bergejolak setelah gendang telinga ini menerima suara yang nyaring tersebut. Aku memang sudah bosan dengan suara tersebut, tetapi entah mengapa hati ini tetap terus bergejolak dan segera mengaktifkan saraf-saraf motorik ini untuk menghasilkan gerakan efektor menuju wajahnya. Tetapi semua niat buruk yang terbesit di dalam otak ini harus kutahan demi kebahagiaan ibuku. Aku tidak ingin menambah permasalahan dalam kehidupan ibuku lagi, meskipun ibu tidak pernah bersedia menceritakan pokok permasalahan yang sesungguhnya terjadi kepadaku.
Aku membiarkan kaki ini terus melangkah dan tak kuacuhkan kembali dirinya. “Akkhhhh!!! Lepaskan!” mata ini berpapasan dengan kedua bola matanya, lalu menyusuri tanganku yang tergenggam erat di telapak tangannya.
“Sebenarnya, apa yang kau inginkan?” tanyaku tegas.
“Hahaha! Siena, kau tidak pantas berada di sekolah ini. Mulai dari penampilanmu yang begitu kuno, wajahmu yang begitu kusam, sangat tidak nyaman dipandang!”
“Memangnya sekolah itu mementingkan penampilan seseorang?”
“Tentu saja, seperti diriku yang mempesona ini. Dengan berpenampilan menarik maka semua orang akan tertarik padaku, secara otomatis aku akan memiliki banyak teman. Tidak seperti dirimu yang setiap hari hanya bisa bergaul dengan buku! Ahahah!”
Kuputuskan untuk segera meninggalkan wanita ini. Bagiku, menghiraukannya sama saja dengan membuang waktu berhargaku. Aku tidak peduli apa yang dikatakan orang di sekitarku, saat ini yang bisa kulakukan adalah tetap belajar dengan tekun untuk membahagiakan ibuku.
Otak dan pikiran ini mulai disibukkan dengan tugas, ulangan harian, dan tentunya berusaha untuk mendapatkan hidup yang bahagia, sederhana bukan? Kusibukkan tangan ini untuk memindahkan kata demi kata dari otakku.
“Perhatian semuanya, ini teman baru kalian di kelas 11.”
Seketika ada informasi yang mulai menghentikan kerja otak dan tanganku.
“Silahkan perkenalkan dirimu di depan teman-teman” jelas Miss Hiera di depan para murid.
“Nama saya Alex, saya murid pindahan dari Jogjakarta.”
“Wahhh Alex ganteng banget!” jerit Jasline pada teman sebangkunya.
Banyak sekali kicauan-kicauan para kaum hawa terhadap murid baru itu. Mereka yang ada di kelas ini berbanding terbalik dengan diriku, aku bahkan sama sekali tidak peduli terhadap murid baru itu. Sejak ia menginjakkan kakinya di kelas ini, aku tetap menyibukkan otakku untuk terus memutar ide-ide kreatif dalam bentuk cerita. Setelah puas memperkenalkan dirinya, murid baru itu tiba-tiba duduk di sebelahku karena memang selama ini kubiarkan bangku sebelahku tak berpenghuni. Menurutku, ini hal yang wajar, karena aku memang lebih banyak menghabiskan waktuku sendirian di sekolah. Aku lebih memilih bersahabat dengan buku dibandingkan dengan manusia yang hanya mampu merendahkan orang lain. Itu sebabnya, mayoritas dari mereka menjauhi aku dan menganggapku orang yang sombong dan aneh, padahal sikap mereka terhadapkulah yang menjadi sebab dari perubahan sikap ini.
“Hai, nama gue Alex. Gue perhatiin daritadi kok lu diem aja?”
Tanpa menghiraukan pertanyaan itu, aku terus menyibukkan diri dengan aktivitasku sendiri. Tapi, murid baru ini terus mengusikku.
“Hei? Kok ditanya malah diem aja? Lu ini bisu ya? Atau tuli? Eh... maaf, gue ga bermaksud...”
BRUAK!
“Heh! Jangan asal ngomong ya! Kalo mau negluarin kata-kata, mending disaring dulu!” bentakku sambil meluapkan emosiku pada meja yang tak berdosa ini. Laki-laki berkulit coklat sawo, dengan kaca mata bertengger di hidungnya yang mancung itu terus memandangku lekat-lekat. Akupun tidak bisa mendeskripsikan jenis ekspresi apa yang ia tunjukkan. Tercengang? Bukan, salut? Mustahil, penasaran? Apalagi, lebih-lebih tidak mungkin. Terkejut kah? Hmmm... aku jadi bingung begini.
“Eh, cewe kampungan, berisik tau!” bentak Jasline di ujung kelas. Aku tidak menghiraukannya karena aku sudah terbiasa mendengar panggilan sejenis itu. Rasanya, batin ini sudah tahan terhadap segala hinaan, layaknya kulit badak yang begitu tebal.
Lonceng bel istirahat mulai berbunyi, kulangkahkan kaki ini untuk meninggalkan murid baru itu menuju ke perpustakaan dengan setumpuk buku dan novel yang kuletakkan di kedua tanganku. Aku merasakan ada yang aneh dengan daya tahan tubuhku hari ini. Entah mengapa, kedua mata ini seperti kehilangan kendali, otot lurik pun enggan untuk diperintahkan, rasaya lemas sekali.
BRUK! Saat itu, cahaya yang cerah berubah menjadi gelap seketika.
Alex
“Kok gue ada ngerasa janggal gitu ya? Wajahnya itu kayaknya gue pernah liat, dan rasanya gue gak asing sama cewe itu. Ahhh...! Perasaan gue aja kali yang terlalu gimana-gimana.”