Januari

Melissa Octavia
Chapter #3

#3 Hampa

Jasline

“Kamu tuh ya! Wanita gak tau diuntung! Tiap hari bisanya cuma minta duit, duit dan duit!”

“Kamu juga seharusnya periksa diri kamu sendiri mas. Kamu tiap hari pulang subuh, apa kamu ada perhatiin istri dan anakmu mas? GAK ADA KAN?!”

“Aku itu banting tulang kerja di luar, seharusnya kamu bersyukur bisa dapet suami pekerja keras, bukan hanya bisanya terus menuntut!”

“Banyak alasan kamu mas! Ngaku saja kalau kamu punya simpenan di luar!”

PLAK!

“Akh! Berani ya mas kamu kasar sama istri!

Aku hanya bisa terdiam di balik pintu kamarku setelah mendengar pertengkaran kedua orang tuaku. Aku berusaha untuk selalu kuat menghadapi cobaan hidup yang sedang kuhadapi, aku ingin menjadi seorang gadis yang kuat, dan juga ingin menjadi seorang gadis yang mampu memotivasi diri sendiri. Tetapi, air mata yang keluar dari kedua mata ini tak terbendungkan. Seketika, tanpa persetujuan diri, air mata ini mulai membasahi pipi. Entah mengapa disaat kondisi seperti ini, pikiranku mulai tak terkendalikan, banyak sekali pikiran negatif yang mulai merasuki. Tiba-tiba, gadis yang paling kubenci di kehidupanku terlintas di benakku, wanita itu sudah membuat hidupku semakin menderita, layaknya ia yang sudah menghalangiku untuk meraih sebuah kebahagiaan, kebahagiaan kecil sekalipun mampu ia kuasai. Kubertekad, suatu saat nanti aku pasti akan membuatnya hidup menderita, tak akan sedetikpun aku izinkan ia untuk behagia. Di saat seperti ini juga, pikiranku seperti dirasuki oleh sesosok monster yang siap memusnahkan segalanya.

.......................

Rintik-rintik hujan mulai membasahi lapangan sekolah yang berwarna hijau. Tak sedikit dari para penghuni sekolah mulai berlarian panik untuk terhindar dari basahnya rintikkan hujan. Ku mendongakkan kepala, ku perhatikan langit dengan seksama. Hitam keabuan, mempresentasikan bahwa sekarang sedang dalam keadaan cuaca buruk. Sama seperti kondisi yang sedang kualami sekarang. Buruk.

Kuputuskan melajukan langkah kedua kaki ini dengan tempo yang cepat karena aku sama sekali tidak membawa payung. Mungkin aku yang terlalu terburu-buru, tiba-tiba badan ini tak terkendalikan dan... BRUK! Seluruh murid yang masih berdiri di koridor sekolah memandangku dengan tatapan yang merendahkan dan sayup-sayup kumendengar mereka sedang mengolok-olok diriku. Sungguh rasa malu yang tidak dapat kukendalikan, rasanya seperti sebuah mimpi, cobaan demi cobaan terus menembakku secara bersamaan bagaikan peluru yang siap membunuhku perlahan. Disaat diri ini sedang tenggelam dalam keterpurukan dan ketidakberdayaan, tiba-tiba kumerasakan rintik hujan sudah berhenti dan tidak membasahi kepala dan badanku lagi. Ku beranikan diri untuk mendongak keatas, ternyata ada sebuah payung yang melindungiku.

“Alex?”

“Bangun, bel sekolah udah bunyi.” Jawab Alex tak acuh.

Aku hanya bisa menuruti perkataan yang telah ia perintahkan. Aku bangkit dengan keadaan basah kuyup. Sesampainya di kelas, batin ini seperti terpukul oleh benda keras setelah melihat reaksi tatapan murid kelas yang begitu sinis padaku. Jasline, lu gak lemah!

“Thank you ya Lex.” Ucapku padanya yang sudah membantuku.

“Jangan salah paham ya, gue Cuma bantu orang doang.”

Jujur hati gue kecewa pas denger lu ngomomg begitu, tapi ga masalah, seengganya gue punya waktu beberapa menit ngerasain kebahagiaan.

“Nih, pake handuk buat lap badan lu dulu, sama ini gelas, ambil sendiri air angetnya di kantor guru.”

Aku tidak membalas perintahnya, kedua bola mata ini hanya bisa terus-menerus memandang wajahnya yang cukup nyaman dipandang. Perasaan suka mulai menutupi perasaan duku sebelumnya. Ternyata lu cukup perhatian ke semua orang ya... gak heran kalo lu disukai banyak orang, terutama cewek. Ku raih gelas yang ia berikan lalu mulai melangkah keluar kelas.

“Jasline.” Ucap seorang wanita yang menghalangi langkahku.

“Shintia?”

“Maaf soal kejadian kemarin, gak seharusnya gue kasih ide yang bahayain nyawa orang.”

No problem, Shin. Ini salah kita bertiga kok, bukan Cuma lu seorang doang. Dan inget, misi kita gak berhenti sampe disini.” Bisikku di telinga Shintia sambil melirik ke keadaan sekitar.

“HAH?! Lu ada rencana apa lagi Jas?”

“SSTTT... jangan kenceng-kenceng. Intinya, tunggu tanggal mainnya aja.” Balasku.

.......................

Siena

Sejak kejadian yang sudah kulalui kemarin, akhirnya keadaanku berangsur membaik. Aku menjalani lembaran hidupku dengan bahagia sejak Alex hadir di kehidupanku. Mulai dari sekarang, aku menganggap sekolah bukanlah sebuah tempat yang panas bagaikan neraka lagi, sebaliknya sekarang aku menganggap sekolah bagaikan rumah kedua bagiku. Hari demi hari, aku menikmati masa sekolah di sisi Alex. Ia memberikan perhatian lebih padaku, menolongku jika ada kesulitan, dan tidak jarang mengjariku materi yang belum sepenuhnya aku pahami dengan baik. Hingga suatu saat...

“Siena, nanti malam ada waktu?”

“Ada, kenapa?”

“Kita ke Cafe Fortune yuk, ada hal penting yang mau gue bicarain sama lu.”

“Hal penting?” tanyaku terheran-heran. “Kenapa gak sekarang aja?”

“Kalo kita ngomongnya di kelas, banyak yang nguping. Rasanya gak nyaman aja, haha”

“Oh gitu, oke mau jam berapa?”

“Jam tujuh malam, bisa?”

“Bisa.” Setujuku tanpa berpikir panjang.

Tunggu dulu. Kenapa aku dengan begitu mudahnya menyetujui ajakan orang lain yang baru aku kenal beberapa hari? Meskipun sikapnya baik terhadapku, tidak seharusnya aku langsung menerima ajakannya. Aku bahkan belum memberitahu ibuku. Kalau ibu tidak mengizinkanku pergi, apakah aku akan menurut mendengar perkataan ibu? Atau aku tetap mengikuti kata hatiku? Hati inipun menjadi sangat bimbang.

......................

“Jalan Pegagasan Raya nomor empat belas, Fortune Cafe.”

“Baik, laksanakan perintah. Bayaran sesuai yang sudah disepakati,”

“Saya selalu menepati janji, jangan khawatir. Ingat, tutupi identitas sebaik mungkin, jangan bertindak gegabah.”

“Siap!”

Lihat selengkapnya