Alex
“Pa, ada Jasline dateng.”
“Eh iya, Jasline duduk sini.”
“Iya om, makasih ya. Ini ada sedikit buah buat Alex.”
“Makasih Jasline, lain kali kamu gak udah repot-repot. Keenakan tuh Alex jadi gendut sekarang, haha.”
“Haha, iya gak apa-apa om. Ini semua kan demi Alex cepet sembuh juga.”
“Iya, makasih ya Jasline. Oh ya Alex, gimana tadi di taman, udaranya adem kan?” tanya ayah padaku.
“Iya pa, enak. Cuman tadi ada orang ga dikenal nyamperin aku. Kayak mau ngajak ngobrol gitu. Dia ngakunya sih dulu pernah jadi temen aku, tapi aku sama sekali gak ingat dia.” Jelasku.
“Orang gak dikenal? Kamu tau siapa namanya?”
“Dia namanya Siena.”
Setelah kujelaskan semua kejadian yang terjadi di taman tadi, ayahku hanya bisa terdiam dan tak berkomentar apapun. Mimik wajah yang diekspresikan juga membuatku bingung. Mengapa saat kusebut nama Siena, ayah langsung mengekspresikan wajah yang gelisah dan penuh dengan kekhawatiran? Ia pun sekaligus mengerutkan kedua alisnya layaknya seseorang yang sedang berpikir keras. Setelah itu, ayah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar kamar pasien. Aku dan Jasline hanya menatapnya bingung. Pikiran ini mulai menerka-nerka, sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan?
Beberapa minggu kemudian, akhirnya aku diizinkan untuk kembali ke rumah. Dokter tidak lupa berpesan padaku bahwa aku tidak boleh banyak berpikir dulu dan harus ingat untuk beristirahat. Hari demi hari kulalui bersama Jasline, bagiku Jasline bagaikan seorang malaikat yang telah menolong nyawaku. Aku masih mengingat kejadian pada saat Jasline menolongku pada saat aku mengalami kecelakaan yang menyebabkan diri ini tak sadarkan diri dan terjatuh di semak-semak. Pada saat itu, aku belum mengenalnya dan mengira dia akan berbuat jahat padaku. Setelah aku sudah sadarkan diri, aku sudah berada di rumah sakit. Orang pertama yang aku lihat adalah ayahku sendiri dan orang kedua adalah wanita yang pada saat itu aku sama sekali belum mengenalnya. Ayah berkata bahwa, wanita itulah yang sudah menolongku, namanya Jasline. Setelah mendengar nama tersebut, aku merasa nama yang dimilikinya sangat indah. Dan sejak itu, aku mulai tertarik padanya dan benih-benih cinta mulai bermekaran.
“Jasline, kamu mau gak jadi pacar aku?”
“Aku...”
“Aku suka sama kamu sejak pertama kali aku liat kamu.”
Tanpa menunggu waktu yang lama, akhirnya ia menganggukkan kepala menandakan ia bersedia menjadi pacarku. Hatiku sangat senang bahkan sampai memeluknya dalam keadaan terinfus. Rasa senang yang kumiliki pada saat itu tidak dapat tergantikan oleh apapun. Aku sudah menganggapnya seperti seorang malaikat yang tak diundang, tetapi selalu senantiasa menemani masa pemulihanku di rumah sakit.
..................
Jasline
Aku sadar bahwa aku sudah salah. Tetapi, perasaan ini tidak bisa dibohongi. Sejak pertama kali aku bertemunya di sekolah, aku sudah menaruh hati padanya. Dan akhirnya, jodohlah yang mempertemukan kita. Pertemuan aku dan dia terbilang unik, bahkan tidak ada sisi romantisnya sama sekali. Aku sangat berterima kasih kepada Tuhan karena sudah mendengar doaku selama ini. Tetapi, dibalik semua kebahagiaan yang kuperoleh terselip kesedihan dan kesalahan yang amat berat. Pada saat Alex sedang tertidur pulas diatas ranjang pasien rumah sakit, aku tidak sengaja melihat sebuah foto yang ia letakkan di dalam tasnya. Rasa penasaran itu terus mendorongku untuk mengambil dan melihat foto tersebut.
Siena... dan ini... mamanya...
Pada saat itu, aku menyadari bahwa Alex sangat sayang pada Siena. Kalau gue berbuat kayak gini, apa itu semua adil buat Siena? Rasa keegoisanku mulai memicuku untuk tidak merasa iba pada orang lain. Aku segera mengambil dan menyembunyikan foto tersebut di dalam tasku. Kusembunyikan foto itu agar di kedepan hari Alex tidak akan melihat foto itu lagi yang dapat membuatnya teringat pada masa lalu.
.......................
Siena
Akhirnya aku dan Lisa diizinkan untuk keluar dari rumah sakit. Sejak kejadian kali ini, ibuku sudah tidak mengizinkanku keluar rumah untuk sementara waktu. Oleh karena itu, aku dan Lisa mau tidak mau hanya menghabiskan masa liburan sekolah kami di dalam rumah saja.
“Siena, waktu itu kamu kemana aja? Mama kamu panik nyariin kamu.”
“Aku ke taman, Lis.”
“Oh... ke taman. Ngapain kamu ke taman malem-malem?”
“Awalnya cuman mau cari udara segar. Tapi tiba-tiba...”
Isak tangisku kembali pecah setelah mengingat kejadian di taman malam hari itu.
“Eh... kamu kenapa, Na?”
“Gak apa-apa, Lis. Aku cuman teringat kejadian waktu itu aja.”
“Kejadian apa? Coba ceritain pelan-pelan sama aku.”
“Jadi pas malem itu, aku ketemu cowok yang mirip banget sama Alex. Dan dia ngaku kalau dia itu emang Alex, tapi dia sama sekali gak kenalin aku.” Jelasku sambil terisak menangis di pelukan Lisa.
“Jadi... maksud kamu, Alex itu belom meninggal?”
“Kemungkinan besar emang belom meninggal, Lis. Dan aku rasa, kayaknya dia amnesia.”
“Amnesia itu lupa ingatan. Bener gak?”
“Bener. Dan yang lebih parahnya lagi, dia jadi deket sama Jasline.”
“WHAT?! Di... dia jadi deket sama cewe yang hampir ngebunuh kamu itu?”
“Iya, Lis.”
“Jangan tunggu lama-lama lagi, Na. Kamu harus cepet cari si Jasline, minta dia kembaliin Alex ke sisi kamu.”
“Tapi... tapi aku takut, Lis.”
“Singkirin rasa takut kamu dulu, Na. Semua demi keadilan kamu. Kamu mau terus-terusan liat mereka bahagia? Enggak kan?! Semua gak adil buat kamu, Na.” Jawab Lisa dengan penuh semangat layaknya api yang sedang berkobar-kobar. Masuk akal juga...
Kata-kata yang dilontarkan oleh Lisa membuatku terpancing untuk mencari keadilan bagiku. Aku ingin merebut kembali sumber kebahagiaanku. Janjiku dalam hati.