Mike
“Ratna, mulai minggu depan aku harus kerja di kota Surabaya.”
“Loh, kenapa mas?”
“Karena kantor tempatku bekerja sementara waktu dipindahkan ke kota Surabaya.”
“Jauh sekali mas.”
“Iya, sudah tidak ada jalan lain. Aku berencana membawa Alex ikut bersamaku kesana.”
“Kenapa kamu mau bawa Alex, Mas?”
“Ini semua kulakukan demi kamu. Kamu di pagi hari harus pergi bekerja. Sore setelah pulang kerja harus mengurus pekerjaan rumah sekaligus merawat kedua anak kita. Aku tau kamu pasti lelah.”
“Terima kasih Mas sudah pengertian padaku.”
“Tidak perlu berkata seperti itu. Sudah seharusnya aku membantumu merawat anak-anak.”
“Baiklah mas kalau keputusanmu seperti itu. Aku hormati segala keputusanmu.”
“Terima kasih Ratna, kamu sudah menjadi istri yang baik.” Ucapku sambil mengecup kening wanita pujaanku.
Aku merasa tidak rela harus meninggalkan istriku di kampung halaman seorang diri. Tetapi, tidak ada jalan lain lagi karena faktor ekonomilah yang membuatku harus tetap bekerja keras meskipun harus pergi ke tempat yang jauh sekalipun. Aku masih diberikan waktu selama satu minggu untuk mempersiapkan barang-barang kebutuhan yang harus kubawa pergi. Mulai dari popok, susu, pakaian hingga berkas-berkas penting. Selama sisa satu minggu terakhir aku terus meluangkan waktu untuk menemani istriku. Perasaan tidak rela terus menyelimuti. Baru kali aku dan istriku harus menjalani hubungan jarak jauh yang sebelumnya kita selalu saling mengandalkan dan saling menjaga satu sama lain. Aku terus memanfaatkan setiap detik, menit hingga jam untuk mempersiapkan mentalku berpisah dengan istri tercinta. Tidak lupa selalu belajar kepada istriku bagaimana cara memakaikan popok yang benar pada bayi, cara menenangkan bayi pada saat menangis hingga cara menggendong bayi dengan tepat.
Satu minggupun berlalu begitu cepat. Aku harus segera berangkat ke terminal bus untuk menghindari keterlambatan. Akupun berpamitan dengan istriku dengan mencium keningnya, serta mengecup halus pipi anak perempuanku yang pada saat itu baru berusia enam bulan. Tidak tega rasanya hati ini pada saat melihat anak tercinta menangis dengan histeris melihat ayahnya pergi membawa kakaknya. Air matapun tak terbendung lagi disaat melihat istri tercinta juga menitikkan air mata sambil melambaikan tangan menyatakan tanda selamat jalan. Hati ini menolak untuk berpisah dengan keluarga kecil, tetapi langkah kaki ini tetap harus terus melangkah kedepan, sama sekali tidak boleh mundur kebelakang karena aku yakin bahwa kesulitan yang kami hadapi sekarang akan membawa kebahagiaan di masa mendatang. Aku harus menunda kebahagiaan sekarang untuk dapat menikmati hasil manis di masa depan.
Tangan kananku menenteng tas yang berisi pakaian pribadi serta berkas-berkas penting, tangan kiri menenteng tas yang berisi pakaian serta keperluan bayi, sedangkan di belakang punggung aku menggendong anak laki-lakiku yang masih berusia kurang lebih satu tahun lebih. Karena aku belum mempunyai uang yang cukup untuk naik pesawat, maka kuputuskan untuk menaiki sebuah bus. Waktu yang diperlukan dari kota Jogyakarta sampai kota Surabaya dengan menaiki sebuah bus adalah kurang lebih lima hingga enam jam lamanya. Perjalanan yang begitu jauh tentunya harus mempersiapkan mental dan fisik. Di tengah perjalanan menuju kota Surabaya, aku segera menelepon sahabatku yang bernama Agus. Aku berencana ingin menumpang di rumahnya karena aku belum memiliki biaya yang cukup untuk menyewa sebuah rumah.
“Halo, Agus. Ini saya lagi menuju kota Surabaya.”
“Halo, iya Mike. Tumben kamu ke Surabaya, ngapain?”