Agus
Selama lima tahun belakangan ini, Mike terus bekerja keras. Sebelum matahari terbit, ia sudah berangkat kerja dan setelah cahaya rambulan menyinari gelapnya malam ia baru sampai di rumah. Sedangkan aku bertugas untuk menjaga anak-anak di rumah sambil berjualan ketoprak di depan rumah. Aku dapat merasakan perjuangan Mike untuk terus berusaha memberikan nafkah dan kehidupan yang layak bagi keluarga kecilnya. Meskipun jarak yang jauh sudah memisahkan mereka, tetapi Mike tetap memberikan perhatian pada keluarganya yang masih berada di kampung halaman. Yang membuatku salut, sesampainya Mike di rumah, ia tidak langsung masuk ke dalam kamar dan beristirahat. Ia selalu meluangkan waktu untuk menemani Alexander, putra pertamanya untuk bermain dan mengobrol. Padahal rasa yang lelah sudah terlukis jelas di raut wajahnya.
Aku menjadikan sahabatku yaitu Mike sebagai panutan serta contoh untuk menjadi seorang ayah yang bertanggung jawab dan bijaksana dalam segala hal. Aku selalu meluangkan waktu untuk menemani Alexious bermain dan mengobrol. Sejak istriku meninggal dunia, tanggung jawab yang diletakkan di kedua pundakku ini semakin besar, aku harus menjadi seorang ayah sekaligus ibu yang harus semaksimal mungkin membimbing anak semata wayangku agar jika sudah beranjak dewasa nanti bisa menjadi orang yang berguna dan memiliki sifat yang rendah hati.
Melihat cuaca yang begitu cerah, aku memutuskan untuk membawa Alexander dan Alexcious pergi bermain ke tepian danau. Atas izin dari Mike yang sedang sibuk bekerja, akhirnya aku mulai mengayuh sepeda ontel peninggalan kedua orang tuaku menuju tepi danau yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Disaat aku mengajak kedua anak ini pergi mencari udara segar, mereka mengeluarkan ekspresi yang sangat gembira. Bahkan sesekali mereka bernyanyi bersama sambil menikmati udara segar. Meskipun warung ketoprakku harus kuliburkan setengah hari, tetapi kerugian yang didapatkan langsung terbayarkan setelah melihat dua jagoan kecil ini tertawa begitu lepas.
“Papa papa, liat deh di sana ada perahu!”
“Kamu mau naik perahu?”
“Iya pa, aku mau tau rasanya naik perahu.”
“Alexander, kamu mau ikut?” tanyaku sambil memalingkan wajah padanya. Kedua alisnya dikerutkan dan bersembunyi di belakang sepeda ontel. Dapat disimpulkan bahwa Alexander tidak berani bersama aku dan putraku untuk bersama-sama menaiki perahu kayu tersebut.
“Kak Alex, ayok bareng kita naik perahu.” Ajak putraku sambil menarik tangannya.