"Dek, sini, deh."
Di tengah-tengah kerumunan anak-anak yang sibuk bekerja; mengolah kebun di bawah mentari yang bersinar terik di hari itu, pemuda itu berdesis, memanggil gadis kecil yang sedari pagi tidak berhenti menggali tanah dengan cangkul kecilnya dan menanam bibit ke lubang-lubang yang dibuatnya.
Tapi, gadis yang dipanggil justru menghiraukannya sama sekali. Gadis kecil itu malah mengusap wajahnya, membuat kulitnya semakin kotor oleh debu dan tanah yang coreng-moreng di mukanya, yang kini jadi kemerahan yang terbakar oleh sengatan matahari yang panas membakar di atas kepala.
"... Dek..."
Pemuda itu memanggilnya lagi tapi gadis kecil itu masih cuek-cuek saja, entah sedang berpura-pura tidak mendengar atau memang tidak mendengar sama sekali. Alih-alih menyahut gadis itu malah menggaruk kepalanya, membuat rambut hitamnya yang kusam karena panas mentari semakin kotor oleh kotoran tanah dari jemari-jemarinya, sama sekali tidak lagi peduli dengan kebersihan setelah lebih dari seminggu tidak diberi mandi.
"Dara..." Pemuda itu mendekat, suaranya makin keras. Selangkah demi selangkah kecil pemuda itu bergerak agar gadis kecil itu mendengarnya, hingga akhirnya mereka hanya terpisah sejauh diameter ember yang dibawa gadis itu dari gudang. "Dara bisa denger nggak, sih?"
Gadis itu melirik tapi tidak menjawab apa-apa. Bola matanya yang bulat terlihat was-was juga lelah di saat yang sama.
"Habis cuci piring nanti, datang ke gudang, ya? Abang mau tunjukin sesuatu."
Bias senyum pemuda itu secerah langit siang itu, sang gadis kecil yang bernama Dara itu tidak mengubah ekspresinya sama sekali.
"Harus datang pokoknya atau kita bakalan kena masalah—"