Kegiatan OSPEK fakultas kedokteran dilanjutkan sesuai jadwal, setelah pagi yang heboh dengan kehadiran sebuah alat kontrasepsi. Para mahasiswa baru tampak sibuk mempersiapkan kegiatan bakti sosial. Mahasiswa yang dibebani tugas mengangkut karung dan kerdus bahan pokok, sementara mahasiswi mengemas beberapa bahan pokok itu menjadi satu paket baksos untuk dibagikan pada masyarakat yang membutuhkan di Desa Sukajadi, desa yang baru saja dilanda tanah longsor.
Olin berada dalam kerumunan mahasiswa baru lainnya, diantara tumpukan beras, minyak, gula, kopi bahkan peti-peti telur yang membumbung tinggi. Olin duduk di kursi jongkok menghadap karung goni beras, dengan cekatan tangannya mengeluarkan dua liter beras dari dalam karung goni besar lalu ia masukkan ke dalam plastik kresek hitam. Ia sengaja mengikat ujung plastik dengan simpul pita agar tak sulit bagi penerimanya untuk membuka kembali plastik berisi dua liter beras tersebut.
Tepat di sebelah karung goni itu, Mita teman baru Olin yang baru saja dikenalnya di masa OSPEK ini sedang berhati-hati memindahkan butiran telur dari dalam peti telur ke dalam plastik kresek bening di atas wadah timbangan digital. Begitu angka pada timbangan digital itu menunjukkan 1 kilogram, tangannya berhenti memasukkan butir telur. Jika Olin memilih mengikat kresek hitamnya yang berisi beras dengan simpul pita, Mita justru mengikat plastik kresek beningnya dengan simpul mati, ia terlalu khawatir plastik bening itu mudah terbuka hingga telur didalamnya keluar dan pecah tergelincir jatuh.
“Kalo gue sih bakal pingsan ditatap gitu ma Kak Abel. Udah deh, tamat gue. Pingsan gue pingsan.” ujar Mita pada Olin sembari menghembuskan nafas panjang. Ia membenahi posisi duduknya di atas kursi jongkok yang terasa sempit untuk menopang tubuhnya yang lebar.
Tangan Olin yang sedang menimbang beras terhenti. Senyumnya merekah sementara benaknya kembali dipenuhi dengan tatapan serta wajah serius Abel tadi pagi. Wangi tubuh Abel yang sempat terhembus oleh desiran angin bahkan seolah-olah masih melekat di penciumannya. Olin membayangkan seandainya jemari tangannya dapat menyentuh rambut hitam Abel yang lurus dan sedikit gondrong menutupi dahi.
"Baru kali ini gue nemu mahasiswa rasa model gitu, di fakultas kedokteran gitu lho. Mana bahunya tuh sandar-able banget, punggungnya peluk-able banget, senyumnya kangen-able banget. Pokoknya semuanya terAbel-abel."
Mita cekikikan melihat ekspresi wajah Olin yang penuh penghayatan dengan mata kosong menerawang.
"Badan gue udah panas dingin ditatap gitu doang. Sumpah itu rasanya nyawa gue tinggal separo." sambung Olin, kali ini matanya membalas tatapan Mita yang makin cekikikan.
"Separonya lagi kemana? Lo gadein?"
Olin tidak menjawab, ia kembali terlena dengan hayalan liarnya. "Gue yakin banget itu badannya kak Abel pasti kotak-kotak persegi bujur sangkar jajaran genjang. Lo liat nggak tadi kemeja putihnya agak terawang gitu yah nggak sih?"
Mita mencoba mengingat-ingat perwujudan Abel tadi pagi ketika matahari mulai sorot menyinari. "Kayaknya iya yah, kemeja putihnya terlalu tipis deh."