Jar Hearts

wulan garani
Chapter #3

Chapter tanpa judul #3

3

Rumah dua lantai yang terkesan mewah itu terlihat redup dan temaram sejak lima menit yang lalu, setelah mbak Denok si pembantu rumah tangga mematikan sebagian lampu dan hanya menyisakan lampu taman serta lampu teras tetap menyala. Ia juga memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci rapat, meskipun rumah tanpa pagar itu berada dalam cluster perumahan yang penjagaannya ketat oleh beberapa satpam yang berkeliling setiap dua jam sekali di malam hari hingga pagi tiba.

Ketika hampir seluruh penghuni rumah mulai terlelap, nyala lampu justru masih terang benderang dari balik jendela balkon sayap kanan yang tertutup gorden putih tipis itu. Suara seseorang tengah mengobrol satu arah pun lamat-lamat masih terdengar. Sesekali ia terdiam cukup lama, mendengarkan dengan seksama dan serius seseorang di ujung telepon berbicara dengannya, lalu ia sedikit merespon dengan sedikit kata pula yang mampu terucap dari bibirnya.

"Masa sih?" Olin mempererat dekapannya. Boneka Donald Duck di pelukannya semakin tak berbentuk, kepalanya tertekuk dalam hingga paruhnya mencium perutnya sendiri. Tangan Olin reflek meremas-remas kaki Donald yang berwarna orange itu.

"Kalo cuma satu dua orang yang cerita sih, gue juga nggak bakal percaya." Mita diujung telepon menyakinkan kembali. Berbeda dengan rumah Olin yang sudah sepi, dirumah Mita seluruh penghuninya masih terjaga. Mita mencomot roti sobek coklat yang masih tertinggal di meja makan, lalu buru-buru masuk kedalam kamarnya. Tak lama berselang, adik laki-lakinya berteriak mencari roti sobek itu. Mita segera membanting pintu kamar dan menyematkan kunci gerendel, sebelum adik laki-lakinya menyadari dia adalah pelakunya.

"Iya sih yah, mana ceritanya dari beda angkatan." Olin mengucek rambutnya kesal. Lalu boneka donald duck dalam dekapannya, reflek ia lempar penuh emosi dan jatuh tergeletak di atas karpet berbulu halus berwarna biru pastel itu.

"Memang terkadang cinta dapat membutakan, cinta bikin lo nekat melakukan apa saja bahkan hal terburuk sekalipun." Mita terdengar serius meski sepotong roti coklat masih belum dikunyah didalam mulutnya. Matanya fokus pada coklat yang melumer dari dalam roti, tepat di bekas gigitannya.

"Tapi nggak juga kayak gitu dong. Itu sih udah masuk kategori posesif, masa semua cewek yang sekedar naksir kak Abel sampe diteror segitunya, dilabrak, di-bully, sampe ada yang dipotong rambutnya itu keterlaluan. Sakit jiwa si Nadin!" seru Olin panjang lebar berapi-api.

Mita diujung telepon mengangguk-anggukan kepala sembari mengunyah. "Setuju, sakit jiwa."

"Lo yakin kak Abel ma si nenek lampir itu nggak pernah pacaran?" tanya Olin menegaskan kembali.

Kali ini Mita menggeleng sembari menjejalkan potongan roti sobek yang masih tersisa ditangannya ke dalam mulut. "Nope! Mereka pernah akrab tapi sebatas teman aja. Semuanya pada bilang gitu sih."

Olin menghembuskan nafas panjang dan dalam. Matanya tertuju pada boneka Donal Duck di karpet yang berbaju kelasi biru tanpa celana, serta merta tangannya meraih boneka itu dan mendekapnya kembali dalam pelukan. "Kok gue nggak yakin yah. kalo nggak ada hubungan apa-apa, nggak juga mantan masa sampe segitunya."

"Kalo menurut gue nih yah, Nadin itu kan anak dosen, anak orang kaya yang udah biasa dimanja. Semua yang dia mau harus keturutan. Wajar banget sih menurut gue, ketika dia mau Abel tapi nggak bisa didapetin jadinya makin terobsesi gitu. Egonya makin menjadi-jadi." jelas Mita panjang lebar sembari merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Lihat selengkapnya