Jar Hearts

wulan garani
Chapter #5

Chapter tanpa judul #5

5

Setelah dua jam menempuh perjalanan, akhirnya rombongan truk tronton TNI memasuki kawasan desa Sukajadi dengan selamat. Satu-satunya yang tidak selamat hanyalah hati Olin yang terus berdegup kencang setiap kali pandangannya tidak sengaja tertumbuk pada kedua bola mata milik Abel. Keduanya duduk nyaris berdekatan hanya terpisah Panji dan Mita yang juga sama-sama duduk di lantai truk beralaskan tikar yang memang sengaja disiapkan bagi mereka yang tidak kebagian bangku besi panjang.

Badan truk tronton mulai berguncang-guncang kesana kemari, ban-ban besar itu menapaki medan yang tidak cukup bersahabat. Desa Sukajadi ini bisa dibilang desa yang tertinggal meskipun letaknya tak jauh dari ibukota. Tapi akses jalannya seperti belum pernah tersentuh pemerintah mungkin karena memang letaknya yang di atas perbukitan serta tidak menjadi jalan utama tembusan ke kota lain sehingga desa ini bagaikan desa mati, satu-satunya desa yang berada di atas bukit. Penduduknya bahkan seperti terisolasi, mereka tidak menggantungkan pasokan dari desa lain untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok mereka. Namun sejak bencana tanah longsor, penduduknya kini terpaksa membutuhkan bantuan yang bukan hanya dari desa terdekat namun juga dari pemerintah.

Rombongan truk tronton serempak menepi di sebuah lahan kosong berumput. Para mahasiswa segera bergegas menurunkan muatan paket bahan sembako dan beberapa peralatan medis. Sementara para mahasiswi hanya membantu sekedarnya, lalu justru sibuk menikmati udara dan atmosfer yang sangat terasa berbeda. Hamparan hijau yang terbentang luas sejauh mata memandang sangat menghipnotis mata, sungguh keindahan yang terbayar lunas dengan medan yang berat untuk dilalui.

"Mana desanya bro?" tanya Panji pada Abel yang dua hari lalu sudah survei terlebih dahulu ke lokasi bencana. Pandangannya menyapu seluruh penjuru, bersama dengan tubuhnya yang ikut berputar.

"Di atas bukit, makanya kita cuma bisa sampai disini. Akses jalannya rusak parah, terlalu beresiko apalagi ada tanjakan yang empat puluh lima derajat plus ada dua titik jalan yang terputus sebagian karena longsor." jelas Abel panjang lebar, tangannya terangkat menunjuk perbukitan di balik hamparan hijau.

"Gila sih, ini tadi ada aja udah nanjak dan parah jalannya Gimana yang empat puluh lima derajat, bisa copot jantung gue." tangan Panji ditepuk-tepukan di dadanya. Ia menghela nafas panjang.

Abel terkekeh mengingat raut wajah Panji saat melewati jalan menanjak dan rusak parah.

Panji masih saja mengelus-elus dadanya ketika Ridho, mahasiswa senior yang bertubuh kekar namun berkacamata layaknya kutu buku itu menghampiri keduanya. Ia berjalan tegap sembari menaikkan kacamatanya yang melorot ke hidung.

"Bel, lo yakin kita brenti disini? Nggak ada orang sama sekali gini?" tanya Ridho dengan pertanyaan serupa, bingkai kacamatanya kembali jatuh ke hidung tapi kali ini ia membiarkannya. Kedua mata dibalik kaca itu menuntut penjelasan.

"Penduduknya di tenda penampungan, udah berhasil di evakuasi tim SAR." jelas Abel sembari mengeluarkan topi hitam dari dalam tas yang menyilang di dadanya.

"Tenda penampungannya dimana? Kita nggak kesana aja daripada disini?" tanya Panji lagi mencecar Abel seolah tidak puas dengan jawaban sebelumnya.

Lihat selengkapnya