6
Berbondong-bondong penduduk mulai berdatangan dari arah perbukitan, sepuluh menit sebelum waktu yang telah ditentukan Abel dengan kepala desa. Warga terlihat sangat antusias dengan kegiatan bakti sosial yang digelar mahasiswa kedokteran, terlebih kondisi mereka yang memang sedang dalam keterbatasan di lokasi evakuasi.
Tenda komando khusus pembagian paket sembako sudah siap sedia menyambut kedatangan warga. Mahasiswa pun segera mengkondisikan situasi agar pembagian paket sembako dapat berjalan lancar dan tidak terjadi kericuhan. Panji dan beberapa mahasiswa lainnya yang bertugas di garis paling depan merapikan warga agar dapat mengantri dalam lima barisan yang bermuara pada kelompok mahasiswa yang bertugas membagikan paket sembako.
Sementara tenda komando khusus keluhan kesehatan juga sudah siap dengan segala peralatan medis sederhana dan obat-obatan penyakit ringan. Namun tenda itu masih kosong, belum ada satu pun warga yang menyambangi. Tampaknya penduduk lebih mengutamakan untuk mengambil paket sembako terlebih dahulu untuk keluarganya daripada kesehatannya sendiri.
"Aku perlu ngomong." tiba-tiba Nadin menghampiri Abel, ia bahkan tidak memperdulikan keberadaan Olin yang duduk disamping Abel atau lebih tepatnya tidak lagi mempermasalahkannya.
Abel menoleh dan menatap mata Nadin yang masih sembab. "Oke."
"Sekarang." pinta nadin lagi, matanya kembali berkaca-kaca.
Abel beranjak berdiri dari kursinya. "Kita bakal ngomong, tapi nggak sekarang."
Nadin masih bertahan berdiri didepan Abel, sementara Olin yang merasa tidak nyaman terpojok dalam situasi yang merupakan urusan pribadi keduanya perlahan beranjak dari kursi hendak meninggalkan. Tapi belum juga satu langkah menjauh dari keduanya, tangan Abel menyergap tangan Olin menahannya pergi.
"Gue butuh lo." tegas Abel, pandangan matanya segera tertuju pada Olin.
Air mata Nadin kembali tumpah didepan keduanya, ia mengalah beranjak pergi dengan tangan menghapus kasar air matanya.
Abel melepas tangan Olin dengan kikuk. Ia kembali duduk sembari berdehem melonggarkan tenggorokannya yang terasa tercekat. "Maaf, lo jadi nggak enak."
Olin tidak menjawab, ia berusaha tersenyum tapi bibirnya terasa sangat kaku. Ia pun kembali duduk dengan canggung. Pikirannya berkecamuk, firasatnya mengatakan mereka bukan sekedar teman. Matanya yang kosong tertuju pada tenda komando didepannya.
Tiba-tiba seorang pria muda lari tergopoh-gopoh dari arah perbukitan menuju tenda keluhan kesehatan. Abel yang lebih dulu menyadari segera beranjak dari kursi, menyambut pria dengan wajah cemas dan kalut.
"Tolong saya! Tolong anak saya! Anak saya dirumah demam tinggi! Tolong ikut saya!" seru pria itu dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersimpan di raga. Rongga dadanya kembang kempis sementara nafasnya tersengal-sengal.
Reflek kedua tangan Abel segera menangkap tubuh pria yang kelelahan dan mulai doyong didepannya. "Tapi tolong, Bapak duduk dulu. Tarik nafas dalam hembuskan, saya khawatir Bapak pingsan dijalan sebelum kita sampai."
Abel menyodorkan kursi untuk pria itu duduk dengan tenang, sedangkan Olin segera memberi sebotol air mineral. Pria itu pun buru-buru menegak habis air mineral berkemasan botol dalam genggamannya. Lalu ia senderkan punggung pada kursi yang didudukinya.
"Anak bapak di rumah atau tenda evakuasi?" tanya Abel memastikan.Ia duduk bersimpuh di hadapan pria itu memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan.
"Rumah saya bukan di kawasan longsor, jadi kami masih diperbolehkan tinggal dirumah masing-masing." jelas pria itu dengan nafas yang masih menggebu-gebu.
"Baik, akan kami bantu semaksimal mungkin. Sekarang Bapak coba untuk rileks, sementara saya siapkan peralatan dan obat-obatan." Abel menepuk lengan pria itu sebelum beranjak.