7
Beberapa kambing berwarna putih, hitam, coklat atau kombinasi dari ketiga warna tersebut sedang tampak asik mengunyah rerumputan yang masih tersedia di bak pakan. Tak jauh dari kandang kambing itu terdapat sebuah rumah besar namun sangat sederhana, setengah bangunan bagian belakang bahkan berdinding bilik bambu.
Rintihan seorang anak perempuan terdengar samar-samar dari dalam rumah saat Abel dan Olin tiba. Pria itu segera memasuki rumahnya, pintu lapuk itu berderit ketika dibuka. Seorang wanita menyambut pria itu dengan wajah cemas yang seketika hilang berganti secercah harapan yang terlukis jelas di wajahnya saat melihat Abel dan Olin yang masih berdiri di ambang pintu.
"Gimana Ayu, Bu?" tanya pria itu sembari menghampiri anak perempuannya berusia lima tahun yang tertidur lemas di atas dipan kayu beralas kasur kapuk yang menipis. Dipan itu terletak diruang tengah yang menyambung dengan ruang tamu dengan televisi kapsul di sudut ruangan. Ia duduk di pinggiran kasur dan mengusap kening Ayu yang masih terasa panas.
"Sepertinya masih demam tinggi, Pak." jawab sang ibu, ia menyeka rambutnya yang keriting berantakan.
Tanpa basi-basi perkenalan, Abel segera menurunkan ransel hitam dari punggungnya lalu ia letakkan di atas lantai. Ia bersimpuh membongkar tasnya, sebuah stetoskop dan termo gun ditariknya keluar dari dalam tas. Lalu ia beranjak bangun dan menghampiri Ayu.
"Permisi Pak, boleh saya periksa." ucap Abel lembut seolah berusaha menenangkan pria itu dan istrinya.
"Monggo... silahkan, Mas." buru-buru pria itu beranjak dari kasur, memberi ruang bagi Abel.
"Usia berapa putrinya, Pak?" tanya Abel sembari duduk di pinggiran kasur.
"Lima tahun, dua bulan." jawab bapaknya Ayu dengan rinci.
Olin pun dengan sigap segera beranjak berdiri di samping dipan. Ia menyerahkan thermo gun pada Olin lalu menyematkan stetoskop di kedua daun telinganya dengan lembut. Sisi datar pada gendang stetoskop ia tempelkan di dada, tepatnya di area atas jantung Ayu. Abel mulai mendengarkan dengan seksama dan menghitung detak jantung selama satu menit. Lalu gendang stetoskop itu ia geser ke arah perut. Setelah satu menit Abel melepas stetoskop yang menempel dikedua telinganya.
"Ada peningkatan detak jantung, wajar karena demam. Coba lo cek berapa suhunya." ujar Abel pada Olin.
Olin segera melakukan pemindaian suhu tubuh dengan mendekatkan termo gun ke dahi Ayu, dalam hitungan detik beberapa angka tertera di layar alat pendeteksi suhu tubuh."Empat puluh koma lima."
"Tinggi sekali. Ibu sudah beri obat penurun panas?" tanya Abel pada ibunya Ayu yang berdiri tak jauh dari dipan dengan wajah cemas.
"Daun jarak." jawabnya cepat dengan mantap.
Abel mengangguk dan berusaha tersenyum, menyadari susahnya penduduk di sekitar sini untuk mendapatkan obat bahkan obat penurun panas sekalipun sehingga mereka hanya mengandalkan alam untuk kondisi kesehatan mereka.
"Ada diare, Bu?" tanya Abel untuk menguatkan diagnosa penyakit setelah pemeriksaan dengan stetoskop.
"Ada mas dokter, tiga hari demam ini barengan sama mencret bolak balik saya gendong ke belakang." jelas Ibunya Ayu dengan sangat lugas.
"Sudah diberi apa, Bu?" tanya Abel lagi sembari menepuk-nepuk lengan Ayu untuk membangunkannya.
"Itu aja Mas... cuma air garam gula. Kata orang puskesmas, kalo mencret anaknya kasih air garam gula aja biar nggak apa gitu katanya." jelas ibunya Ayu panjang lebar.
Kali ini Abel justru tertawa kecil, ternyata tidak sepenuhnya mereka hanya mengandalkan alam dan mengabaikan ilmu dalam dunia kedokteran yang ia pelajari. "Biar tidak dehidrasi, Bu... dan cairan gula garam itu namanya oralit."