KEDUA mata remaja itu terpusat pada batas jarak lima puluh meter di kolam renang. Sebuah dinding yang akan mengungkapkan perolehan hasil pertandingan. Lelaki itu berdiri di balok start. Alarm berbunyi nyaring. Kemudian, tubuhnya meluncur ke air bersama atlet lainnya; berpacu dengan napasnya yang memburu; berpacu dengan tubuhnya, yang memberat melawan massa air; sementara kecepatan dan waktu menjadi musuhnya yang paling nyata saat ini.
Kesunyian menguasainya. Satu-satunya suara yang memenuhi kedua telinganya hanyalah suara gelembung air dan embus napasnya. Kendati sorak-sorai penonton di tribun gelanggang sedang memburu setiap atlet—ia sama sekali tak peduli dan menganggap suara mulut-mulut mereka padam. Seperti saat ia mengecilkan volume televisi.
Dingin pelan-pelan merayap ke seluruh tubuhnya, terlebih ketika dilihatnya bayang-bayang seorang gadis sedang duduk di kursi roda: kedinginan yang tercipta dari rasa rindu itu sungguh tak tertahankan. Gadis itu tampak menontonnya dalam nuansa gembira, seolah harapan sedang ditanamkan ke pundaknya, menenenangkan hatinya yang hampir membeku.
Bayangan wajah lain pun beberapa kali menghantuinya dari dasar kolam, tubuhnya berenang bersama dirinya dari sana. Seolah terbawa arus bawah air yang deras. Wajah itu milik seorang perempuan yang sangat berarti baginya. Kedinginan yang ia rasakan tatkala melihat tatapan harap itu, berhasil membuat tubuh lelaki itu didera gigil.
Begitu ia keluar dari kolam, dan suara penonton perlahan-lahan kembali mengusik kedua telinganya, kedua sosok perempuan itu raib seketika.
Kesunyian kini bersemayam di dalam hatinya.