Jarak

Ardi Rai Gunawan
Chapter #2

Bab 1

Tak ada satupun kenangan yang akan hilang dalam ingatan. Kenangan hanya dirahasiakan oleh waktu, penderitaan, dan rasa rindu yang mendalam. Tubuh akan didatangi tamu kematian, namun pikiran tetap abadi.

ANAK lelaki itu berlarian mengitari pekarangan rumahnya. Mainan kincir angin yang ia pegang, berputar-putar, mendesing halus mengikuti embus angin yang kadang kencang, kadang melembut. Tangan mungilnya mengacung-acung ke langit biru bersih, berharap ia bisa membuat benda itu berputar lebih cepat.

           Rumah anak itu berada di dekat kawasan perkebunan teh. Tepat di utara rumahnya ada seruas jalan tanah kecil, yang merupakan batas langsung menuju kebun teh di atasnya. Kadang, ia berlari membawa kincir anginnya di jalan itu.

Tidak hanya rumah anak lelaki itu saja yang berdiri di sana; satu rumah keluarga lain pun menemani rumah anak tersebut. Tempat itu dihuni oleh satu keluarga kecil yang selalu tampak bahagia dan cerah; berbanding terbalik dengan nuansa muram pada rumah anak lelaki itu. Tetangganya, memiliki sepasang putri kembar yang kerap bermain bersama anak lelaki itu. Namun, hanya putri tertua saja yang kelihatan ramah dengan orang asing. Ia pula yang selalu bermain dengan anak lelaki itu. Sementara adik bungsunya terlihat muram dan lesu; seakan wajahnya selalu dihujani duka, walau parasnya serupa.

           Kini, anak lelaki itu tak bermain sendiri. Si putri sulung ikut masuk ke pekarangan rumah bocah tersebut dan mulai mencari perhatian agar dapat bermain bersama. Lama tak mendapat perhatian pemilik rumah, gadis kecil itu segera memandangnya jahil. Akhirnya, tanpa izin, si putri sulung merebut kincir angin yang sejak semula digenggam bocah itu, lalu berlari meledeknya. Anak lelaki tersebut tentu mengejarnya, mencoba merebut apa yang ia punya beberapa detik lalu. Tapi, si putri sulung tak mau berhenti berlari mengelilingi pekarangan, dan hal yang sudah diprediksi anak lelaki itu terjadi. Gadis itu terjatuh. Tangisnya pun pecah.

           Bocah lelaki itu jadilah kebingungan. Ia segera mengambil kincir angin mainan miliknya, lalu membantu gadis kecil itu berdiri, meskipun awalnya ia tak mau karena gengsi. Tapi, tangan kecilnya tetap terulur kepada putri sulung yang masih menangis karena tersandung kakinya sendiri. Si anak lelaki tak habis pikir dengan anak gadis yang menangis di hadapannya; padahal tubuhnya lebih besar dan tinggi, namun mengapa dia mudah sekali mengeluarkan air mata. Di kelas tiga sekolah dasarnya, tubuh gadis kecil itu yang paling bongsor di antara kawannya—baik lelaki maupun perempuan: seharusnya membuat ia punya keberanian. Bahkan ketika meladeni ejekan kawan-kawan sekelas, soal tubuh besarnya.

           “Sini, biar aku bantu!” tawar bocah itu dengan nada ketus.

           Anak perempuan yang semula menangis tersedu-sedu, segera menatap anak lelaki itu dengan tatapan kebingungan. Entah mengapa, saat si bocah melihat kedua mata putri sulung, ia jadi teringat pada mata tokoh kartun Hachi; anak lebah sebatang kara yang pergi mencari ibunya.

           “Cepat! Bangun!”

           Si putri sulung menyambut uluran tangan anak lelaki itu. Sesaat, ia menyeka air mata yang membanjiri kedua pipinya.

            “Terima kasih,” ujar anak perempuan itu masih terisak.

           “Dasar cengeng! Biar kuberitahu, aku menolongmu bukan karena ingin ya, tapi aku takut orang-orang di desa akan menuduhku yang bukan-bukan karena suara tangismu yang bikin budek itu. Dasar!”

           Putri sulung itu terlihat tak memedulikan perangai ketus anak itu, ia malah membalas pernyataan tersebut dengan tawa sembari membersihkan tanah dan debu pada baju terusan putihnya. Namun, gadis kecil itu pun tak tahu mengapa air matanya belum berhenti mengalir.

           “T-tapi aku boleh main denganmu lagi, kan?”

           “Terserah!” ujarnya masih ketus.

Anak lelaki itu pun duduk di teras dan memperbaiki mainannya yang sedikit rusak. Sementara si putri sulung, kembali dengan senyum manisnya. Ia segera menyusul anak lelaki itu, duduk di sampingnya sambil menyeka air mata yang membasah di pipi dengan kaos terusannya.

           Sedang duduk di teras, si putri sulung dan anak tuan rumah dikejutkan oleh lemparan kertas yang berasal dari sebelah rumah. Si putri sulung membuka gumpalan kertas itu. Kosong. Gadis kecil itu berdiri. Menengok ke sana-sini; mencari siapa yang iseng melemparkan bola kertas tersebut kepada mereka berdua. Anak lelaki itu hanya diam. Ia tak mau ambil pusing dengan permasalahan sepele yang sedang mereka hadapi. Berbeda dengan si putri sulung. Ia begitu penasaran.

           “Hoo!”

           “Jangan berisik!”

           “Adikku yang menjahili kita ternyata!”

           “Aku gak peduli.”

           “Hey! Jangan lempar-lempar kertas! Kalau mau, isi kertas-kertas itu dengan tulisan menarik! Pasti seru,” ujarnya pada adik kembarnya. Adiknya terlihat dari jendela kamar yang terbuka. Wajahnya tampak tak berekspresi. Ia masih terus meremas-remas kertas, sebelum benda itu akhirnya dilemparnya kembali kepada kakak kembar dan anak lelaki tersebut.

           “Heh, itu namanya kamu membiarkan dia menyampah sembarangan di rumah orang. Apa di SD tidak diajarkan buang sampah pada tempatnya?”

           “Eee, nanti juga diberesin, tenang, tenang,” katanya, seakan tak mau disalahkan. Ia lalu meneriaki adiknya agar tak melempar kertas ke rumahnya, tapi si bungsu tak menanggapinya sama sekali.

          Anak lelaki itu semakin gusar. Mendengar suara gadis kecil yang nyaring dan berisik di pekarangan rumahnya, membuat ia segera berdiri dan berjalan melewati pekarangan, menuju rumah anak kembar jahil tersebut.

           “Tunggu!” ujar si putri sulung.

           “Sekalian kuantar kamu pulang!”

           “Kamu galak amat.”

           Anak lelaki itu tak mengacuhkannya. Ia terus berjalan menuju rumah tetangganya.

           “Hey! Bisa kamu berhenti melempar kertas itu ke rumahku. Nanti, ibuku bisa marah,” ujar anak lelaki itu kepada si putri bungsu.

           Sejenak, si bungsu berhenti meremas-remas kertas kosongnya. Namun, ia malah mengambil sehelai kertas origami lalu menyulapnya menjadi pesawat kertas yang lucu. Tanpa ekspresi si bungsu melemparkan pesawat kertas itu kepada anak lelaki tersebut. Terbang melandai, kemudian tepat mengenai keningnya. Kini ia mulai berekspresi: si bungsu tersenyum kecil. Sedangkan kakaknya  terbahak-bahak. Tampak si anak lelaki mulai kesal, ia pun akhirnya membalasnya. Namun, sayangnya lemparannya tak sesuai harapan. Si bungsu segera menutup jendela kamarnya. Anak lelaki itu kelihatan sangat kesal dan jengkel kepada sepasang saudara kembar ini.

Melihat gadis sulung tak henti tertawa, rasa kesalnya kian bertambah saja dan bernafsu untuk menjahilinya. Padahal, gadis itu tadi menangis saat jatuh tersandung kakinya sendiri. Anak lelaki itu pun memungut sisa bola kertas yang ada di sekelilingnya, kemudian meletakkan manis bola itu di mulut mungil si sulung yang masih tertawa lebar. Anak lelaki itu pun kembali ke rumahnya, sementara si sulung, memuntahkan bola itu, dan air matanya kembali deras keluar.

Si sulung pun berlari pulang ke rumahnya bersama suara tangis yang lebih keras ketimbang sebelumnya.

                                                                     ***

                       

Lihat selengkapnya