ARSENATA KUSUMA. Itulah nama siswa SMA yang kemarin baru saja selesai berdebat dengan seorang gadis berkursi roda. Harusnya, hari ini ia berangkat sekolah, tapi tujuannya malah berbelok ke rumah sakit. Tempat di mana ia dan gadis itu bertemu kemarin. Padahal ia sudah mengenakan seragam SMA dan mengendarai sepeda.
Di perjalanan, ia masih mengingatnya, dan mungkin tak akan mudah melupakan Gadis Berkursi Roda. Sikapnya itu sungguh berbeda dari kebanyakan gadis yang pernah Sena temui. Ia pun mengakui kalau gadis itu unik; tanpa ekspresi, tapi berhasil menekan seseorang sampai sejauh itu. Apa itu bakatnya? Batinnya.
Mencoba meninggalkan pikiran tentang gadis aneh itu, ia berusaha fokus lagi dengan kerepotan yang dilaluinya. Ia harus membawa pakaian ibunya setiap tiga hari sekali. Sebab itu, Sena seperti tinggal di dua tempat saja kini: antara rumah dan rumah sakit. Aktivitas ini sudah ia lakukan sejak enam bulan lalu ibunya mengalami kecelakaan mobil. Dan sampai saat ini kondisinya masih koma.
Ayahnya kadang menengok mantan istrinya yang terbaring lemah di sela kerjanya. Ia masih membantu keluarga lamanya walaupun kini sudah memiliki keluarga kecil baru. Menyadari akan hal itu, Sena berusaha untuk tidak bertemu dengan ayahnya. Jauh dalam hatinya, ia masih kesal terhadap nasib keluarga kecilnya yang dulu berantakan. Sena kecil selalu melihat mereka bertengkar. Kadang ia bingung, memilih siapa yang benar dan siapa yang salah. Ia tak tahu, karena saat itu ia masih kecil.
Kini, Sena sudah remaja dan sudah paham sedikit akan keadaan keluarganya. Kadang, ia merasa iri jika melihat anak sebayanya masih bisa bertamasya bersama keluarga atau sekadar makan malam bersama. Kerap kali, perasaan itu sungguh mengganggunya; Sena takut rasa irinya dapat melukai perasaan orang lain, dan akhirnya membuat ia pelan-pelan menghindar dari lingkar pertemanan. Karena keadaan itu pula, ia kini jadi kesulitan berkomunikasi; ia tak ingin orang lain terlibat terlalu jauh dengan masalahnya, begitupula sebaliknya. Akibatnya, seringkali kawan-kawan sekelasnya capek jika harus terus-menerus mengajaknya berteman. Sejak dulu hingga sekarang, ia masih seperti itu. Sena hanya bisa bercerita bebas dan bercanda dengan kawan sebangkunya saja, itu pun karena mereka telah saling mengenal sejak kecil.
Sepedanya kini hampir tiba di rumah sakit. Menerobos kendaraan yang berlalu-lalang. Bangunan rumah sakit sudah di depan mata. Sebentar lagi, tinggal beberapa kayuh lagi ia sampai. Hal ini sungguh menguntungkannya sebab jarak rumah dan rumah sakit tak begitu jauh.
Sena menghitung dalam hatinya sebelum sepedanya tiba di parkiran. Seolah hal itu kini sudah menjadi kebiasaannya sebelum tiba di rumah sakit. Seolah dengan berhitung ia dapat mengurangi rasa khawatir kepada ibunya.
Satu,... dua,... tiga,... empat.... lima! Ia berhasil sampai di parkiran rumah sakit. Kemudian, Sena memarkirkan sepedanya. Tak lupa ia menyapa satpam dengan senyum kecil.
Sena tahu, semakin lama ia mengucapkan hitungan itu, semakin merasa itu adalah doa yang telah menjadi kebiasaannya. Seperti makan, minum, dan bernapas. Berharap setelah hitungan mencapai ‘lima’ nasib baik akan datang: ibunya akan siuman, dan mereka bisa hidup bersama seperti dahulu. Walau ia akui, Sena tampak sedang berjudi dengan Tuhan. Bermain-main dengan harapan.
“Tidak sekolah, Dek?” tanya satpam itu.
“Tidak Pak. Saya sedang ijin,” ujar Sena berbohong sambil memarkirkan sepedanya di tempat yang masih kosong. Ia sama sekali belum menulis surat izin kepada wali kelasnya.
Sena pun melanjutkan perjalanan menuju kamar ibunya yang terletak di lantai empat. Ia melihat pintu elevator terbuka lebar. Sena pun segera berlari kecil agar segera tiba dalam elevator itu, lalu menekan tombol lantai 3A. Namun, sebelum pintu elevator tertutup, seorang ibu berwajah sendu ikut masuk menemani Sena. Sena terpaksa tersenyum ramah saat perempuan itu menatapnya.
Pintu elevator tertutup.
Perempuan itu berada di depan Sena, dan ia merasa familiar dengan anak muda sekolahan di belakangnya. Selain menduga anak muda itu membolos, ia merasa Sena adalah seseorang yang ia kenal di masa lalu. Namun, Sena terlihat tak ingin terlalu berurusan dengan orang lain. Tak peduli, orang yang ada di depannya kini mengenalnya atau tidak, baginya semua orang sama; seperti semut-semut yang merayap di dinding kamarnya.
Angka elevator mulai bergerak. Saat angka lantai yang menjadi tujuan Sena sudah menyala. Pintu elevator pun terbuka. Sena langsung berjalan keluar tanpa menyapanya kembali. Sedangkan ibu itu tampak mengharapkan Sena mengatakan sesuatu.
***
SENA merasakan adrenalinnya meranjak ketika menelusuri lorong rumah sakit: jantung Sena selalu berdegup kencang saat ia melewati lorong—di mana kamar ibunya ada. Ia membayangkan ibunya sudah sadar dan menyapanya ketika Sena membuka pintu ruang rawat, atau yang paling mendebarkan adalah bayangan sebaliknya. Ia hanya berjumpa ranjang kosong dan perawat menuntunnya ke kamar jenazah.
Selama ibunya dirawat sejak enam bulan lalu, dan dokter memvonisnya koma, Sena merasa frustasi. Ia seperti kehilangan semangat hidup. Kehidupan Sena pun berubah. Ibu yang biasanya membangunkannya di saat pagi; ibu yang biasanya memasak telur dadar saat sarapan; ibu yang selalu menanyakan kegiatannya di sekolah; ibu yang selalu khawatir saat Sena sakit, kini tak ada lagi. Sena sadar, sudah saatnya ia mandiri. Tapi itu semua terasa berat, ketika sosok yang sangat ia sayangi tiba-tiba hilang begitu saja. Walau ia tahu belum saatnya berpikir demikian.
Sena selalu berdoa setiap malam; mengharapkan ibunya cepat sadar, dan kembali menyemangatinya dalam setiap aktivitasnya, bahkan Sena rindu saat ia dimarahi. Walaupun ia tahu, kalau keinginannya itu terlalu kekanak-kanakan. Ia tak bermaksud merajuk pada takdir, tapi Sena merasa ia tak bersalah dengan hal itu.
Mata Sena kerap membasah karena menahan tangis, sebab tiap melangkah di lorong tersebut, seolah ia menelusuri masa lalu. Kini, ia sudah di depan pintu kamarnya. Sena perlahan membuka pintu kamar ibunya. Aroma antiseptik menyebar di segala penjuru ruangan. Di ruangan itu ibunya hanya terbujur sendirian.
Seolah sedang hidup dalam pusaran, Sena langsung duduk di sofa yang sama, berhadapan dengan pemandangan yang sama, dan ia bisa mulai menangis tanpa suara. Hanya air matanya saja yang diam-diam menetes, titik demi titik.
Sena meletakkan tas sekolah berisi baju ibunya di sofa, lalu ia menyambar kursi di sisi ranjang ibunya. Ia memegang erat telapak tangan ibunya yang agak dingin. Membenarkan selang-selang infusan yang menempel pada tubuh ibunya. Lalu, dalam suasana sunyi itu ia menatap benda di dekat ranjang ibunya: suara alat pendeteksi detak jantung yang terletak di atas tempat tidurnya, membuat Sena merinding. Ia tak tahu apa sebabnya. Hanya saja, bila Sena mendengar suara mesin seperti di film-film itu, ia selalu membayangkan hal-hal buruk akan terjadi. Jika mulai dihinggapi perasaan begitu, ia mencoba membuang jauh-jauh hal itu, dan berusaha tak mengingatnya lagi dengan melihat jendela kamar ibunya. Memandang langit luas.
Sebentar, ia mendengar pintu kamarnya dibuka oleh seseorang. Sena menoleh ke arah suara. Seorang dokter bersama para perawat masuk, hendak memeriksa keadaan ibunya. Sena segera melihat arloji digitalnya. Sudah waktunya diperiksa ternyata.
Anak itu lantas menghindar dari kursi, lalu berdiri membelakangi para suster dan dokter, agar mereka bisa segera memeriksa.
“Dok,” kata Sena lirih.
Dokter itu masih fokus pada pasiennya. Setiap jengkal tubuh ibunya ia periksa. Sampai selang-selang infusannya pun tak luput dari perhatiannya.
“Dok,” kata Sena lagi.
Perempuan itu menatap Sena dengan tatapan prihatin. Tampak di wajahnya yang mengundang simpatik itu, perasaan empati yang mendalam atas keadaan ibu Sena. Perempuan yang menangani ibunya ini, terlihat memahami kondisi Sena yang sendirian. Tidak ada seorang ayah di rumah. Ibunya dirawat. Mungkin, ia tak memiliki teman banyak; tak ada adik atau kakak. Setiap tiga hari sekali selalu ke rumah sakit tanpa sekalipun didampingi seseorang. Dokter itu melihat kehidupan yang dingin pada wajah Sena.
“Iya, Sena. Ada yang mau kamu tanyakan?” tanya dokter bernama Laras itu ramah. Sena tak membalas tatapan Laras. Ia malah menatap wajah ibunya yang dihias selang oksigen.
“Kapan ibu saya akan sadar?”
Sesaat dokter itu diam. Mungkin ia sedang mencoba merangkai kata—mana yang cocok untuk diutarakan pada Sena, yang sudah ditimpa banyak masalah psikologis dalam keluarganya. Sementara itu, para suster sudah keluar kamar dengan segala ‘perabotannya.’
“Sena,” ujarnya pelan namun lembut. Seperti ibunya.