JARAMBAH

Hendra Wiguna
Chapter #3

Ibu Kota tak Lebih Kejam dari Bapak?

Ketika anak-anak lain membicarakan perihal akan ke mana atau melakukan apa saat liburan sekolah, Cecep tidak begitu peduli. Karena anak itu harus membantu bapaknya bekerja di kebun dan tambak ikan selama seminggu liburan caturwulan dua waktu itu. Anak kelas lima SD itu terpaksa karena tak mau bapaknya mengamuk lagi. Bapaknya itu kerap kali memukulnya dengan alasan yang entah.

Cecep memang seringkali menghilang dan suka bermain jauh bersama teman-temannya. Seperti beberapa bulan lalu yang menyebabkan dirinya dan kawan-kawannya hilang tersesat di hutan saat akan mendaki gunung belakang kampung. Dia tak bisa menahan hasrat alami anak-anaknya untuk bermain.

Walaupun kejadian itu membuatnya harus merasakan penyiksaan bapaknya yang marah karena ditegur Pak RT, yang anaknya merupakan salah satu anak yang hilang. Pak RT menyalahkan Cecep karena mengajak anaknya mendaki gunung.

Maka dari itu, liburan kali ini sepertinya Cecep harus puas membantu bapaknya.

Pagi-pagi sekali Cecep sudah siap dengan arit. Dia akan mencari rumput untuk kambing-kambing peliharaan Pak Kosim, dan berlanjut siang harinya akan membantu Bapak menguras kolam ikan.

Seharusnya, yang membantu bapaknya bekerja adalah Iwan, abangnya Cecep. Namun, dia memilih pergi bekerja ke kota. Banyak yang mengatakan jika bapaknya lah yang membuat dia kabur.

Bukan rahasia lagi bahwa bapaknya itu dibenci warga kampung. Pasalnya, dahulu dia sering sekali bikin ulah di kampung; mabuk, judi, dan berkelahi merupakan keseharian di masa mudanya. Bahkan dia kerap kali ketahuan mencuri di rumah atau kebun warga dan sempat dibui.

Warga kampung tahu kalau Cecep atau pun Iwan sering dipukuli oleh bapaknya. Pria kurus bertato itu bertingkah macam orang stres. Terutama semenjak keluar dari bui dan sempat beberapa tahun tinggal di Ibu Kota. Juned, nama bapaknya Cecep, memang terkenal tempramental, gampang sekali main hajar kepada anaknya.

Hal itu semakin menjadi-jadi selama beberapa bulan belakangan ini. Ketika gajinya tak kunjung turun sampai berbulan-bulan. Kata pemilik tambak, harga-harga hasil tambaknya dibeli murah oleh para pengepul, bahkan hampir tidak laku. Juned hanya seorang pekerja tambak yang dimiliki Pak Kosim. Jika terus seperti itu, mungkin dirinya tidak akan lama lagi bekerja di sana.

Krisis moneter, kata Pak Kosim. Alasan yang bukannya tak begitu dimengerti Juned, dia hanya malas memikirkannya. Karena menurutnya, itu urusannya dengan orang-orang berdasi di Ibu Kota sana. Dia tahu, perihal Bank yang bangkrut, nunggak hutang kepada pemerintah, dan tak mampu bayar. Namun, soal urusan apa hubungannya dengan harga ikan-ikannya, dia sama sekali awam.

Sejak menikah dan punya anak, Pak Juned memang sudah tak terlihat lagi tindak-tanduk buruknya. Tobat katanya. Akan tetapi, tetap saja warga masih meragukan. Tak ada yang mau mempekerjakan dia kecuali Pak Kosim, saudagar kaya pemilik tambak ikan, peternakan, dan perkebunan itu. Masyarakat masih menganggap dia belum becus menjaga emosinya sendiri.

Warga mencurigai alasan kenapa Iwan, anak pertamanya yang masih berumur 14 tahun dan duduk di Sekolah Menengah Pertama kelas dua itu kabur, adalah karena bapaknya sering menyiksanya.

Di sisi lain, Cecep sedih harus ditinggal satu-satunya abang yang dekat dengannya. Sebab sedari kecil Iwan lah yang mengasuh adiknya, selain ibu. Sekarang Cecep harus menggantikan abangnya membantu bapak.


***

Pagi menjelang siang.

Satu tumpukan besar rumput sudah Cecep dapatkan. Kemudian diikatnya satu kali dengan tali dan karung bekas menjadi alas agar mudah saat akan di bawa. Dia mulai berjalan di jalur tanah dekat hutan ke arah peternakan Pak Kosim yang letaknya agak jauh. Ditandunya satu bal rumput-rumput itu pada punggungnya yang tak lebar di sepanjang jalan tanah berbatu.

"Cep, hayu urang nonton konser band." Tiba-tiba saja Indra dan Aep menghampiri Cecep. Anak itu pun menurunkan muatannya dari punggung.

"Di mana?"

Lihat selengkapnya