Aaaeeep....
Indraaa....
Ceceeep....
Fajaaar....
Di dalam hutan. Warga setempat ikut melakukan pencarian termasuk para orang tua dari anak yang hilang bersama petugas cagar alam.
Setelah tiga jam pencarian menelusuri hutan di kaki gunung, mereka belum menemukan satu pun petunjuk, kecuali pagar batas cagar yang telah dirusak, yang memungkinkan anak-anak itu masuk dan berniat mendaki gunung. Teriakan-teriakan terus digaungkan, memanggil satu per satu nama anak-anak itu.
***
Sementara itu di tempat lain.
Kendaraan roda empat berhenti di halaman balai desa. Mereka adalah petugas dari cagar alam setempat lainnya yang ingin mengetahui lebih lanjut keterangan dari keluarga keempat anak yang sudah dinyatakan hilang selama hampir empat hari itu.
Datang bersama mereka juga seorang wartawan koran lokal dengan kamera yang menggantung di dada bertuliskan sebuah nama studio foto pada talinya. Sempat ia menarik napas panjang sebelum turun dan berjalan. Wajahnya tampak jengah. Langkahnya seakan enggan menuju warga yang berkerumun itu.
Lelaki berkaos putih dan celana jeans itu kemudian menghampiri seirang pria yang dia yakini ketua RT, yang merupakan bapak dari Fajar, salah satu anak yang hilang itu. Ia langsung bertanya padanya. Sedangkan para petugas berkemeja cokelat itu mendatangi kepala desa setempat.
Pak RT yang sedang berbincang dengan warga menyahut sang wartawan ketika dipanggil. Wajahnya tenang, sama sekali tak menunjukan kesedihan. Akan tetapi, saat ditanya barulah dirinya mengungkapkan kronologi kejadian menurut versinya.
Semenjak hari sabtu, di malam minggu, anaknya, bersama tujuh anak lainnya pergi berkemah di hutan belakang kampung. Di hari minggu siang, empat dari mereka sudah turun terlebih dahulu, menyisakan Fajar, Cecep, Aep, dan Indra. Ketika ditanya, keempat anak yang terlebih dahulu pulang tidak tahu di mana keberadaan kawan-kawannya. Padahal mereka bersama-sama berkemah di markas–salah satu sudut hutan tempat biasa mereka bermain–. Ketika didusul anak-anak itu tidak ada di sana. Begitulah penuturan Pak RT, yang wartawan itu rekam menggunakan tipe.
Setelah selesai mewawancarai Pak RT, lelaki itu mulai melangkah kembali ke warga lain. Seorang wanita tua berkebaya lusuh yang terlihat seperti akan menangis ia hampiri. Itu Bu Diah, ibunya Indra. Dengan bahasa Sunda yang terdengar kagok karena dicampur bahasa Indonesia, dia mengungkapkan perasaan dan penyesalannya karena tidak mencegah anaknya berkemah, padahal dia sudah punya firasat buruk, ungkapnya.
Mata lelaki itu mendelik ketika mendengarnya. Dia tampak jengah. Wajahnya datar. Alat rekam itu pun ia dimatikan dan mulai melangkah kembali mencari warga lain yang bisa dimintai keterangan.
Beberapa kali lelaki itu mengambil foto warga yang tadi diwawancarainya. Siapa tahu beberapa di antara jepretan itu berguna. Walaupun berita yang diliputnya itu kemungkinan tayang hanya di kolom kecil di sudut paling dalam halaman koran, atau tak tayang sama sekali.
Setelah selesai dengan semua kegiatan liputannya, lelaki itu pergi ke warung kopi dan beristirahat di sana.
Kamera itu ia simpan di atas meja. Kemudian sebungkus rokok dikeluarkannya dari saku baju, mengambil satu batang dan menyalaknnya. Hisapan pertama begitu panjang, seakan melampiaskan rasa jenuh dalam dirinya.