JARAMBAH

Hendra Wiguna
Chapter #6

Sosok Bocah di Tengah Demontrasi

Segerombolan polisi mencegat bus yang sedang Dani tumpangi. Kendaraan itu menepi sesuai arahan. Dani berdiri melihat ke luar jendela. Tampak pria-pria berseragam coklat berbaris di tepi-tepi jalan dengan pentungan di tangannya masing masing, memeriksa para pejalan kaki yang menurut mereka tampak mencurigakan. Satu persatu tas-tas diperiksa sementara pemilik tas hanya menyengir, ada pula yang mengkerut masam. Semua yang ada dalam bus agak terkejut melihat pemandangan di luar sana. 

Beberapa polisi lantas naik ke dalam bus dan langsung memeriksa para penumpang, termasuk Dani. Selain KTP, pria berseragam cokelat itu juga memeriksa buku-buku, map merah, dan identitas kemahasiswaan. 

Salah satu polisi sempat memandangi Dani agak lama karena KTM yang didapatinya dalam tas. Tak lama, polisi itu memberikan kartu itu lagi, setelah dirasa tak ada yang perlu dicurigai. Kendaraan berbadan lebar dan panjang itu pun meluncur kembali setelah para polisi turun. 

Dani seharusnya pergi ke tempat kerjanya di salah satu ruko Yogya Mall Klender. Namun, desakan teman-teman kampusnya juga dosen untuk ikut berdemo esok hari membuatnya tak punya pilihan untuk membolos. Meskipun itu adalah ruko kawannya, tetap saja dia merasa tidak enak.

Sebenarnya Dani tidak terlalu minat ikut berdemontrasi seperti teman-teman kampusnya. Meskipun dia berada di Fakultas Hukum Trisakti, yang mau tidak mau pasti bersinggungan dengan urusan kepemerintahan. Dani hanya ingin berkuliah dan mendapatkan gelar S1-nya, sesuai rencananya. Setelah itu menikah dan hidup di kampung halamannya dan bergelut menjadi "wartawan kampung" seperti sebelumnya. Ia tidak mau macam-macam.

Siang menjelang sore. Ketika berjalan di trotoar menuju kampusnya, Dani melihat seorang anak gelandangan pakaian lusuh dan sendal jepit yang talinya hampir putus, itu terlihat dari cara jalan anak itu yang sedikit menyeret agar menahan, atau mungkin karena kakinya sudah lelah. 

Dani mengernyit. Sepertinya dia pernah melihat anak itu. Ketika berpas-pasan, Dani semakin lekat menatap wajah kumalnya. Dia benar-benar merasa pernah melihatnya. Tetapi ragu. Dani pun mengabaikannya, membiarkan anak itu pergi melewatinya. Sekilas dia menoleh kembali padanya, sekilas saja, lalu lanjut berjalan.


***


Keesokan harinya, 12 Mei 1998.

Di siang yang cerah, ribuan mahasiswa sudah berkumpul di jalan-jalan menuju gedung nusantara. Spanduk-spanduk dengan berbagai bentuk protes dan harapan dibentangkan. Teriakan-teriakan orasi dari pemimpin demontrasi terdengar tegas, yang lantas diikuti oleh lainnya. Dani berada di antara mereka, berjalan mengikuti dengan jas almamater birunya serta ikat kepala putih. 

"Reformasi! Reformasi! Reformasi!"

Tangan-tangan itu terkepal meninju-ninju udara sambil terus berjalan. Hingga mereka berhenti tak jauh dari halaman gedung nusantara, bergabung dengan para demonstran yang sudah sejak pagi ada di sana. 

Orasi terus berkumandang dari toa yang digenggam kuat oleh seorang lelaki berikat kepala dengan tulisan 'reformasi', berapi-api menyerukan tuntutan-tuntutannya di atas jalan layang sana. Sementara Dani bersama kawan-kawannya hanya berdiri di tengah-tengah kerumunan. Berbaur. Sesekali berteriak mengikuti seruan sang orator.

Tak hanya mahasiswa, dosen, dan para wartawan yang memang mendominasi di sana, warga biasa, pedagang, bahkan anak-anak tampak menyesaki tepi-tepi jalanan. Jauh di sudut jalan sana seorang anak dengan pakaian lusuh berjalan, kemudian dia berhenti setelah mencapai pohon dan memandangi kerumunan yang berdemo dan mengernyit seakan tak mengerti. 

Keberadaan anak itu rupanya disadari Dani yang memang tampak tak asing. Anak itu yang dilihatnya kemarin. Tapi dia yakin sebelumnya pernah melihatnya. Sekali lagi, Dani mengabaikannya. 

Di tengah hiruk pikuk itu, tiba-tiba ponsel dalam tas Dani berdering. Ia langsung mengambilnya dan menerima panggilan itu. 

"Di mana?" tanya seseorang di seberang telepon. Itu Tino kawan yang mengajak dia datang ke Jakarta. 

Lihat selengkapnya