Pukul satu dini hari. Dani dibangunkan oleh suara dering telepon selular. Padahal dia baru saja terlelap sekitar tiga puluh menit lalu, setelah berjam-jam berusaha untuk tidur. Dia Gelisah. Kepalanya dikerumuni oleh peristiwa tadi sore yang mungkin sampai sekarang belum berakhir. Kerusuhan di sekitar kampus antara mahasiswa dan aparat yang menewaskan empat rekan sesama mahasiswanya itu membuatnya susah lelap. Kemudian dia bangun dan duduk di tepi ranjang bertelanjang dada.
"Halo. Lo udah lihat berita belum?" ucap suara di seberang saluran.
Sebab belum sadar benar, Dani tak terlalu memperhatikan nomor itu. Namun, ia sangat mengenali suara itu: Tino, kawannya.
"Berita apa?"
"Kerusuhan. Tadinya gua mau ngecek keadaan lo."
"Gue gak apa-apa. Gue di kosan."
"Besok lo ga usah kerja. Toko bakal tutup."
"Kenapa?"
"Mereka pada ngerusak bangunan toko. Lo gak tahu?"
"Oh iya, tahu."
"Ini gue sama keluarga gue mau ke Bandung. Ngungsi dulu. Mereka pada beringas. Gue denger ada banyak toko yang dirusak masa."
"Iya, iya, gue tahu. Gue pulang selepas tahu kalau ada empat teman mahasiswa gue yang kena tembak. Tadinya gue mau balik ke rumah, terus gue denger ada tembakan dari arah kampus. Gue balik lagi. Tapi gue gak bisa masuk. Di sana sudah ada banyak polisi berseragam. Gue agak takut sih lihat senjata mereka. Ngeri. Mereka juga dihantam water canon. Gue gak masuk ke kampus, tapi gue tahu ada tembakan di dalam. Baru jam sembilan tadi gue pulang. Gila rusuh banget tadi di sana," jelas Dani.
"Lo gak mau ikut ke Bandung? Ikut aja, yuk?"
"Nggak. Gue di sini saja."
Sayup terdengar suara klakson mobil di seberang saluran.
"Gue berangkat sekarang. Bokap gue udah gak sabar."
"Tunggu! Tunggu, No." Dani beranjak dari ranjangnya menuju balkon kamar. "Lo tahu nggak anak yang pernah gue ceritain. Anak yang tersesat di hutan itu?"
"Yang mana?"