"Sejak jumat pagi petugas gabungan masih berusaha melakukan evakuasi terhadap mayat yang hampir semua sudah dalam keadaan hangus terbakar. Petugas masih terus melakukan evakuasi. Belum semua bagian bangunan yang dapat dijangkau. Para korban yang diduga kuat yang seluruhnya adalah para penzarah ini baru bisa dievakuasi dari lantai satu dan dua dari enam lantai yang terbakar...."
"Astagfirullohaladzim," ucap Pak Dadang sembari mengusap wajahnya yang mulai berkeriput.
Selain suara televisi yang memang terdengar sampai ke dapur, suara istigfar suaminya juga membuat Bu Eneng ikut berkomentar ketika tiba di lawang pintu menuju ruang depan di mana suaminya berada, sambil membawa segelas kopi hitam.
"Bapak jangan ke mana-mana dulu. Kalau ada tawaran show di Bandung apalagi Jakarta jangan diambil. Ngeri, ah," ucap wanita berdaster batik itu. Yang kemudian menaruh segelas kopi iti di meja, di hadapan Pak Dadang.
"Mun Bandung sih, cigana mah aman, Mah."1
"Ah. Hariwang ibu mah."2
"Moal, Mah. Da sabari na ge nuju teu aya panggilan show iyeu ge."3
"Alus atuh."4
"Naha alus? Atuh ngke moal aya pendapatan. Keur mah iyeu emang keur rada hese manggung teh,"5 keluh Pak Dadang.
Bu eneng, yang sudah duduk di sebelah suaminya, terdiam.
Memang, barangkali sudah setahun ini tidak ada panggilan grupnya grupnya, Teater Bodor Bandung–subuah grup kabaret berbasis bahasa sunda, di mana Pak Dadang adalah salah satu anggotanya. Hanya sebulan sekali yang merupakan acara reguler di televisi lokal, itu pun tanpa sponsor sama sekali. Selama setahun itu pula Pak Dadang hanya mengandalkan upah tampil dari televisi yang hanya bahkan tidak cukup untuk keperluan sehari-hari. Beruntung, Pak Dadang masih punya sanggar kabaret di mana dia melatih anak-anak di kampungnya. Beberapa orang tua mereka membayar dirinya, selain dalam bentuk sejumlah uang juga tak jarang dalam bentuk makanan.
"Siga na mah minggu iyeu moal aya acara ka Bandung,"6 ujar Pak Dadang. Segelas kopi yang sudah ada di tangannya kemudian ia seruput. Ada tarikan napas yang terdengar berbeda dari tarikan napas dari reaksi nikmatnya kopi saat dikeluarkan mulut.
Tak lama kemudian, seorang anak berseragam merah putih keluar dari kamar sambil menenteng sepatu. Ia menempelkan punggungnya ke tembok lalu menurunkan badannya sambil meletakkan alas kaki itu di lantai. Setelah duduk, anak itu mulai memakai sepatu itu. Matanya langsung menuju televisi yang sedang menampilkan potongan-potongan video yang memperlihatkan amuk masa di jalanan Kota Jakarta, di mana tampak juga toko-toko yang dibakar, serta penjarahan yang dilakukan masyarakat. Dan yang paling membuatnya ngeri adalah tumpukan jenazah korban kebakaran sebuah gedung yang merupakan pusat perbelanjaan.
"Aep, si Cecep teh sudah pulang atau belum?" tanya Bu Eneng pada anaknya.