JARAMBAH

Hendra Wiguna
Chapter #11

Kerinduan Dua Kawan Jarambah

Siang hari di sebuah kampung, Indra terlihat berjalan pulang dari sekolah bersama Aep. Tepat di persimpangan jalan gang, mereka harus berpisah karena jalur menuju rumah mereka mereka masing-masing itu berbeda. Sempat Indra berhenti sebentar dan menengok kawan sekelasnya itu. Sebelum melanjutkan berjalan, anak berseragam merah putih itu menunduk sebentar dan menghela napas. 

Dia selalu teringat akan temannya Cecep yang hilang entah ke mana. Seharusnya, jika saja kawannya itu memutuskan untuk pulang saja bersama mereka setelah kecelakaan itu, mungkin Cecep sudah berjalan pulang bersamanya menelusuri gang tersebut dan berpisah di persimpangan gang depan. 

Sudah tiga bulan semenjak tragedi kecelakaan yang menewaskan Yudi ketika mereka bermain ke Jakarta, atau lebih tepatnya mengantar Cecep menemui abangnya, Indra maupun Aep tampak tak begitu ceria. Para pasukan jarambah tak berani lagi bermain jauh-jauh semenjak kecelakaan itu. Paling jauh mereka hanya bermain di lapangan atau sungai. Bahkan markas di belakang gunung pun tak pernah lagi mereka kunjungi. 

Setelah pulang sekolah, Indra hanya bisa diam di rumah. Paling tidak ikut emak atau bapaknya ke kebun untuk membantu. Keadaan sungguh berbeda semenjak kepergian Cecep. Ada trauma yang Indra rasakan untuk tidak lagi bermain jauh-jauh dari rumah. Dia masih ingat saat dirinya tersesat di hutan selama empat hari bersama Fajar, Aep, dan Cecep.

“Ndraaa … Indraaa ... ulin, yuk."

Indra sedang termenung di atas kursi memikirkan kawannya yang hilang, ketika seseorang memanggilnya. Entah kenapa keadaan hati indra begitu tidak nyaman. Seperti sesuatu yang buruk telah terjadi. 

Aep sedang berdiri di depan rumah ketika Indra membuka pintu dan keluar karena mendengar panggilan. Anak lelaki berambut ikal itu tampak terkejut melihat temannya. Karena tidak biasa Aep mengunjunginya untuk mengajak bermain.

Ulin ka mana? Ka tonggoh?”1 tanya Indra menanyakan apakah dia akan pergi ke markas.

Mbung ah."2

“Ka mana atuh?” tanya Indra sambil melangkah ke teras lalu memakai sandalnya.

Teuing,"3 jawabnya.

"Ndra, ulah ulin jauh-jauh teuing, nya. Kade ulah ka leuweung!"4 Tiba-tiba saja ibunya Indra yang sedang menyusun kayu bakar berteriak dari belakang rumah. Dari sana dia bisa melihat anaknya berdiri di teras bersama Aep. Tentu saja larangan itu bukan tanpa sebab perempuan setengah baya itu lontarkan.

Moal. Rek ka walungan, ngojay!"5 teriak Indra. "Hayu,"6 ajaknya pada Aep.

Mereka pun mulai berjalan berdua ke tempat yang sebenarnya belum disepakati kawannya itu.


****


Panas matahari masih terasa di sekitar aliran sungai tak jauh dari kaki gunung. Begitu tiba di sana, Aep dan Indra langsung membuka baju dan melompat ke dalam arus air yang tak seberapa deras. 

Siang menuju sore waktu itu. Celotehan canda tawa riang anak-anak terdengar di antara gemuruh arus sungai. Beberapa tampak bertelanjang bulat memperlihatkan tubuh kurus cokelat karena sering terpapar sinar matahari. Mereka riang bermain air walau ada juga yang hanya duduk di atas batu kali.

Indra keluar dari dalam air kemudian berjalan di antara arus menuju Aep yang sudah lebih dulu berada di tepi.

Aneh, nya, halodo kieu ge anggeur weh caina mah tiis,"7 kata Indra sedikit menggigil.

Lihat selengkapnya