"Siapa itu?"
Seperti itulah pertanyaan yang terlontar setiap kali teman-teman sekosan Dani melihat anak itu sedang berada di kamar mandi. Tentu saja mereka heran dengan keberadaannya di sana. Dan Dani hanya menjawabnya dengan singkat.
"Adik gue."
Meski ada kernyit di dahi saat mendengar jawabannya, mereka tak lantas memprtanyakannya lebih lanjut dan membiarkannya, dan mengerjakan aktivitas mereka masing-masing.
Dani berdiri sambil menyandarkan bahu pada tembok tepat di pintu masuk kamar mandi sambil memegang handuk. Hingga tak lama kemudian anak itu keluar dengan malu-malu karena tidak memakai baju. Dani langsung menyodorkan handuk itu untuk dipakainya kemudian menggiringnya ke arah tangga menuju kamar di atas.
"Waktu itu kenapa kau menghilang? Abang, kan, suruh tunggu, jangan ke mana-mana?" tanya Dani. Dia menyodorkan kaos dan celana PDL tanpa bawahannya.
"Aku dengar suara tembakan, terus sembunyi, tapi orang-orang berlarian. Aku ikut lari sama mereka," jelasnya. "Terus pas aku balik ke sana, aku lihat mall itu sudah terbakar. Aku pikir abang sudah...."
Anak itu tak berani meneruskan kata-katanya dan menurunkan gurat wajahnya lalu menekur. Dani, yang sedang berdiri di hadapannya, lalu mengusap rambut hitam kecokelatan yang sudah agak gondrong itu. Prihatin. Ternyata dia juga menyangka hal yang sama seperti dirinya menyangka anak itu.
Tentu saja Dani tidak tahu dan mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana perasaan anak itu. Namun, yang dia ketahui adalah, anak itu sudah melihat banyak hal selama tiga bulan pengembaraannya di ibu kota. Hal yang mungkin mengerikan, hal yang mungkin membuatnya trauma. Itu semua tersirat saat dirinya menemukan anak itu menangis di tepi gang tadi sore.
"Abang tidak tahu sampai kapan situasi ini akan berakhir. Jakarta masih belum aman, Dek. Banyak orang-orang yang gila di jalan," ujar Dani sambil meranjak duduk di meja komputer.
Tentu saja Cecep mengerti apa yang Dani katakan. Dia sudah melihat semuanya. Anak itu masih menekur.
"Aku ingin pulang," ucap anak itu. Suaranya lirih. "Aku ingin pulang kampung." Sekali lagi dia mengatakan keinginannya sambil mengangkat wajah dan menatap lelaki dewasa di hadapannya.
Dani tak menjawab. Sejenak diam sambil berpikir, bagaimana membawanya pulang? Yang dia tahu semua kendaraan umum sedang tidak beroperasi. "Kamu tinggal di sini saja dulu. Nanti kalau keadaan sudah aman, kita pulang. Paling seminggu lagi atau sebulan. Kamu bisa menunggu di sini. Tenang, abang juga akan tetap ada di sini."
"Aku ingin pulang."
Kali ini Dani sudah tidak tahu lagi harus menjawab apa. Dia menghela napas kemudian berdiri.
"Ya sudah. Nanti abang pikirkan. Kamu pake baju kamu dulu," ucap Dani sambil melangkah ke arah pintu. "Abang mau masak mie buat kamu. Kamu makan dulu terus tidur. Kamu pasti capek, kan?"
Cecep mengangguk pelan.
Dani pun keluar, pergi ke dapur tanpa menutup pintu. Sementara anak itu mulai memakai pakaian yang diberikan Dani.
Tengah malam.
Dani masih terbangun. Meskipun kantuk terlihat jelas di wajahnya. Dia memilih berada di luar kamar, merokok, sambil melihat langit kota di atas atap-atap pemukiman. Beberapa kepulan asap masih terlihat membungbung tinggi di berbagai titik.