JASAD DI DASAR JEMBATAN

Heru Patria
Chapter #1

TERTIKAM AIB

Duuh!

Merah telinga Sundari bagai tersengat aliran listrik  berkapasitas ribuan watt. Betapa tidak! Setelah dirinya berbadan dua akibat hubungannya dengan Guntoro, cowok asal Ponorogo yang dikenalnya lewat jejaring sosial yang juga telah ia serahi seluruh hasil kerjanya sebagai TKW, tiba-tiba saja saat ia mendatangi Guntoro guna meminta pertangung jawaban atas janin yang dikandungnya yang kini sudah menginjak bulan ketiga, satu hal buruk yang tak pernah dibayangkannya, harus diterimanya.

Guntoro yang selama ini mengaku masih bujangan ternyata sudah memiliki istri dengan 3 orang anak. Dan ketika Sundari datang ke rumah yang sebenarnya dibeli dari uang hasil jerih payah Sundari di luar negeri, bukan sambutan baik yang ia terima melainkan dampratan dan usiran dari seorang wanita kelebihan lemak yang tak lain adalah istri Guntoro.

“Hai, wanita tak tahu diri! Kau ini masih muda, cantik, tapi kok demen gangguin suami orang. Emang kamu sudah gak laku lagi ya? Awas ya! Kalau kau nggak segera angkat kaki dari rumah ini, jangan salahkan aku kalau aku lapor polisi. Sekarang kau pergi sana! Pergiiii! Jangan pernah balik lagi dan temuiku suamiku!!” damprat wanita kelebihan lemak itu seraya mengacung-acungkan sebuah sapu ijuk ke arah Sundari yang masih juga berdiri mematung di depan pintu.

Bagai disambar petir di siang bolong, Sundari hanya bisa bengong. Sepintas teringat kembali olehnya janji-janji manis Guntoro yang akan segera menikahinya saat mereka berdua terbang bersama belibis-belibis hitam di kamar kontrakan. Di antara bantal dan guling yang menjadi saksi, Sundari menyerahkan kesuciannya dengan penuh kasih.

Namun hari ini, lelaki yang ia gadang-gadang bakal menjadi pendamping dan pelindung hidupnya nyatanya hanya bisa diam membisu saat wanita kelebihan lemak itu mencaci maki Sundari. Jangankan membelanya, memandang ke arah Sundari pun tidak!

Lantaran malu menanggung aib yang kini menghuni rahimnya, Sundari memutuskan untuk tidak pulang ke rumah ibunya. Karena ia yakin bukan solusi yang akan ia dapat tapi justru cemooh berat. Sebab nyatanya Sundari telah mengecewakan orang tuanya. Bahkan ia sampai berani memutuskan tali pertunangannya dengan Revan karena mengira bahwa Guntoro adalah lelaki yang lebih baik. Karena itulah Sundari nekad minggat walau ia tak tahu hendak kemana kakinya melangkah. Begitu beratnya beban penderitaan yang harus ditanggungnya sampai-sampai ia tenggelam dalam keputus asaan.

Sore itu tiba-tiba saja hujan deras mengguyur kota Nganjuk. Alam seolah ikut berduka atas nestapa yang bergelayut di hati Sundari. Langit seolah ikut menangis dengan menumpahkan hujan yang tak habis-habis. 

Dan Sundari yang tak tahu lagi harus kemana, kini hanya bisa duduk tercenung di atas kopernya yang tampak lusuh pada sebuah emperan toko yang sedang tutup. Matanya yang tampak sembab dan masih saja menitikkan air mata duka, menatap lurus ke depan dengan tatapan hampa. Menerawang jauh pada titik-titik air hujan yang sedari tadi belum juga reda.

Sundari bingung. Ia tak tahu lagi kemana ia harus melangkah. Tadi pagi ia terpaksa meninggalkan rumah Mbah Bejo lantaran ia tak mau menjadi beban keluarga yang secara ekonomi serba kekurangan itu. Ya meskipun Mbah Bejo dan istrinya tidak keberatan andai Sundari menginginkan tetap tinggal di rumah mereka sampai ia bisa menenangkan dirinya. Namun karena letak rumah Mbah Mbah Bejo yang tak seberapa jauh dari rumah oranye yang telah menorehkan duka mendalam bagi kehidupan dan masa depan Sundari, maka Sundari memilih pergi saja. Dan karena tak tahu kemana harus pergi, secara asal Sundari memutuskan berhenti saja di kota Nganjuk.

Akh!

Sundari mendekap dadanya dengan kedua tangan. Angin sore berhembus begitu dingin dan beku. Hembusannya yang perlahan serasa menusuk sampai ke dasar tulang. Hingga gaun sutra warna ungu yang dikenakan Sundari saat itu tak kuasa lagi melindungi tubuhnya dari dinginnya cuaca.

Oh!

Sundari menggigit bibir bawahnya. Udara yang dingin membuat isi perutnya memberontak. Melilit perih. Kini ia baru menyadari bahwa sejak tadi pagi perutnya belum terisi. Serangan rasa lapar membuat perutnya terasa nyeri.

Sejenak Sundari mengedarkan pandangan. Tatap matanya yang sayu coba menerobos derasnya air hujan guna mencari kalau-kalau ada warung makanan yang masih buka. Namun hujan yang lebat membuat pandangannya terbatas. Hujan yang semakin deras membuat suasana kota Nganjuk yang masih penuh dengan pepohonan rindang menjadi tampak berkabut tebal.

Dalam tikaman rasa lapar dan sedih yang semakin menggila, tiba-tiba saja di dalam angannya terbersit seraut wajah yang sudah begitu banyak ia buat kecewa demi mempertahankan Guntoro. Wajah itu adalah wajah ibunya. Ya andai saja ia memiliki satu kekuatan hati, di saat duka nestapa dan kesedihan menyelimuti hidupnya seperti sekarang ini, ingin rasanya ia berlari menghampiri ibunya guna menyandarkan kepala di pangkuan ibunya yang selalu penuh cinta.

Sayang!

Lihat selengkapnya