Hidup dan mati seseorang adalah hak prerogatip yang hanya mutlak milik Tuhan. Maka ketika takdir telah Tuhan gariskan, tak ada satu kekuatan pun yang bisa merubahnya. Sebesar apapun upaya manusia untuk mengakhiri hidupnya, tapi bila Tuhan belum berkenan memanggilnya niscaya nyawa itu akan tetap melekat di badan. Begitu pun yang terjadi atas diri Sundari. Kiranya Tuhan hanya berkenan mengujinya dengan berbagai penderitaan namun Tuhan belum berkehendak memanggilnya ke haribaan.
Byaar!
Saat Sundari membuka mata, ia berada di sebuah ruangan yang bersih dengan dinding-dindingnya yang bercat putih. Di sekitarnya juga tampak beberapa orang yang sedang tergeletak di ranjang yang berwarna putih pula. Semula ia mengira bahwa dirinya pastilah sudah berada di alam kematian. Namun ketika matanya tertuju pada dua orang yang juga berpakaian serba putih tampak sedang memperhatikannya dengan seksama, barulah ia menyadari di mana kini ia berada.
“Ibuuu ….”
“Oh iya Sundari, ini ibu. Syukurlah kau sudah sadar, Nak …,” sahut Bu Warsih seraya menitikkan air mata bahagia.
“Benarkah ini Ibu? Apakah aku tidak sedang bermimpi sekarang?”
“Tidak Sundari Kau tidak sedang bermimpi, Nak. Ini aku ibumu.” Bu Warsih berkata seraya memajukan kursi rodanya.
Begitu tepat berada di dekat ranjang tempat anaknya terbaring lemah dengan beberapa selang kecil tertancap di tubuhnya yang dihubungkan dengan dua botol infuse, wanita itu serta merta mengulurkan tangannya hendak memeluk anak gadisnya. Tapi astaga! Bu Warsih terkesima. Bukannya menyambut pelukan sang ibu tapi Sundari justru menepis tangan ibunya dengan sebuah dorongan yang cukup keras. Hingga Bu Warsih terduduk kembali di kursi rodanya.
“Jangan Bu! Jangan sentuh aku!”
“Tapi kenapa Sundari? Ibu merindukanmu, Nak.”
“Tidak Ibu, jangan! Jangan sentuh aku.”
“Ada apa denganmu Sundari? Kenapa kau bersikap seperti ini pada ibu?”
Bukannya menjawab, Sundari justru menitikkan air mata. Perasaannya begitu membuncah sehingga dadanya ikut berguncang karena isak tangisnya.
“Saya tidak pantas lagi untuk Ibu sentuh, Bu,” kata Sundari di antara isak tangisnya. Suaranya terdengar begitu bergetar.
“Kenapa kau berkata seperti itu Sundari?” sahut Bu Warsih yang jadi tak bisa pula menahan tangis.
“Aku sudah teramat kotor, Bu. Aku sudah banyak noda … huk huk huk huk ….”