Sejenak ia mengosok-gosok matanya sambil mengedarkan pandangan. Tapi tak ada sesuatu yang berubah. Ia memang benar-benar berada di halaman rumah. Hmm, Pendi tersenyum. Lantas ia meraba ke pangkal lehernya. Di situ ia menemukan sebentuk kalung yang terbuat dari akar entah pohon apa. Di ujung kalung itu ada sebuah buntalan kecil berbentuk lonjong berwarna hitam mengkilat.
Demi mengingat pesan Aki Sedudo, Pendi segera melepas kalung itu. Mengambil buntalan lonjongnya dan lantas ia masukkan ke dalam dompetnya.
“Wahai, setan perempuan! Sekarang aku tidak akan takut lagi kepadamu. Dengan ajimat dari Aki Sedudo ini, kau tak akan bisa mengusikku!” kata Pendi dengan sikap jumawa.
Setelah memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku belakang celananya, Pendi segera melangkah ke dapur. Hidungnya langsung kembang kempis saat mencium aroma masakan ibunya. Perutnya tiba-tiba juga merasa keroncongan karena dari tadi siang belum mendapat jatah makan.
Tapi Pendi memutuskan untuk mandi dulu. Karena tubuhnya sudah berkeringat dan berbau. Saat ia mandi itulah tampak sebuah bayangan hitam berkelebat. Tangannya yang penuh darah bercampur nanah, terulur ke depan. Siap untuk mencekik leher Pendi. Namun belum sempat tangan busuk itu menjamah lehernya, seberkas sinar merah memancar dari saku celana yang ia gantung di dinding kamar mandi. Sinar itu langsung menghantam bayangan hitam itu hingga terpental ke lantai.
Sosok makhluk astral yang wajahnya tak terlihat lantaran tertutup oleh rambutnya yang tergerai awut-awutan itu, mendesis dan mengerang penuh kekecewaan.
Terdorong oleh rasa lapar yang melilit, usai mandi Pendi buru-buru ganti pakaian dan kemudian kembali ke dapur menghadap meja makan. Karena merasa begitu lapar, langsung ia penuhi piringnya dengan nasi. Lalu ia membuka tudung saji, tempat di mana biasanya sang ibu menyimpan lauk dan sayur.
Begitu tutup mangkok sayur ia buka, matanya langsung melotot bulat-bulat. Karena bukan sayur yang ia lihat, melainkan sekumpulan ceker ayan yang direndam dalam semangkok darah busuk. Di antara potongan-potongan ceker ayam itu ada begitu banyak ulat dan belatung yang menggeliat-geliat menjijikkan. Saat selanjutnya, ceker-ceker ayam yang semula diam itu, serta merta ikut pula bergerak merayap berebut keluar dari mangkok.
Pendi tercekat!
Sepiring nasi yang dipegangnya jatuh berserakan di meja. Bunyi piring pecah yang gemelinting beradu dengan meja kayu, mengagetkan Pendi. Tapi ia lebih kaget lagi ketika tiba-tiba dua ceker ayam melompat cepat dari dalam mangkok. Craatt! Tak sempat Pendi menghindar dari cipratan darah yang muncrat ke wajahnya. Dan kedua ceker itu membenamkan kuku-kukunya ke mata Pendi dengan sadis.
“Aaarrrggg … perih … perih … mataku … aaarrrggg …!”
Pendi meraung-raung dan berlari sempoyongan ke kamar mandi. Di bak mandi itu ia segera membenamkan mukanya. Namun … astaga! Saat ia mulai membuka mata di dalam air bak mandi itu, tepat di depan mukanya ada sebentuk wajah perempuan yang sangat mengerikan. Sesaat mata Pendi sempat beradu pandang dengan mata wajah seram itu.