Tepat jam 12 malam.
Para polisi yang ditugasi mengawasi gubug di tengah kebun singkong yang ditengarai akan menjadi tempat penyiksaan korban berikutnya, masih tampak sepi-sepi saja. Tak kurang dari 10 anggota kepolisian ditemani oleh beberapa warga sekitar, hanya duduk-duduk saja dari jarak yang tak seberapa jauh dari gubug itu. Sesekali mereka tampak membesarkan nyala obor yang dipakai sebagai penerangan.
Tepat jam 24.30, tanpa ada yang tahu dari mana datangnya, tiba-tiba dari dalam gubug yang mereka jaga, terdengar seseorang meracau dengan suara yang menyedihkan.
“Akulah pemerkosa gadis itu.”
“Akulah pemerkosanya.”
“Akulah yang memperkosa gadis itu.”
“Akulah pelakunya.”
Mendengar hal itu, serentak para polisi bersiap mengepung gubug itu. Dan begitu mereka sudah mendekatinya, perlahan semua pada menurunkan senjata. Sebab yang ada di dalam gubug itu ternyata adalah seorang lelaki muda yang terbaring lemah dengan sekujur badan penuh luka sayatan yang masih mengucurkan darah. Dan yang tampak paling parah adalah bagian kemaluannya. Di situ tampak sebuah ceker ayam masih menancap. Darah segar juga terus mengalir.
Tubuh itu benar-benar tanpa daya. Tak dapat bergerak sedikitpun. Matanya juga terpejam rapat-rapat. Namun anehnya bibirnya terus bergerak dan berkata-kata.
“Akulah pemerkosa gadis itu.”
“Akulah pemerkosanya.”
Dalam pengawasan yang ketat, seorang petugas segera mengidentifikasi barang-barang yang bisa dijadikan barang bukti. Ada sebuah celana dalam wanita warna cokelat muda. Beberapa ceker ayam yang masih menancap di tubuh korban. Serta bunga Kenanga.
Tubuh itu masih tetap meracau sebagai pemerkosa seorang gadis hingga ambulan datang untuk membawanya ke Rumah Sakit Bayangkara.
Begitu ambulan berlalu, semua warga kembali ke rumah masing-masing. Yang tersisa tinggallah seekor kucing hitam yang menggeram keras di atas atap gubug.
Meooongb… grrr …!