Setelah beberapa saat terdiam karena tekanan pikiran perihal setan yang hidup dalam keabadian, akhirnya Revan kembali mengutarakan satu pertanyaan.
“Kenapa Kyai? Bukankah setiap kekuatan jahat bisa dikalahkan dengan kebaikan?”
“Itu benar.”
“Lalu?”
“Ingat Nak, setan itu terikat perjanjian pada Tuhan bahwa ia akan hidup abadi agar dapat menjerumuskan anak-anak Adam ke jalan yang sesat. Jadi mustahil manusia dapat memusnahkan setan. Kita hanya bisa mengusirnya saja.”
“Caranya, Kyai?”
“Dengan ini,” jawab sang Kyai sambil mengulurkan tiga buah roncean benang. Masing-masing benang memiliki tiga warna. Merah, hitam, dan putih.
Revan menerimanya dan langsung bertanya.
“Untuk apa roncean benang tiga warna ini, Kyai?”
Sang Kyai tersenyum, baru kemudian menjawab.
“Itu disebut benang tolak balak. Orang kuno dulu menggunakan benang itu untuk gelang atau kalung bagi balita. Tujuannya untuk mengusir gangguan roh halus. Tapi itu hanya media. Yang utama tetap kekuatan dari Allah.”
“Kalau dalam masalah saya ini, benda ini untuk apa Kyai?”
“Tali itu nanti kau gunakan untuk mengikat jasad istrimu saat Demit Jimbe meninggalkannya. Biasanya terjadi tepat jam 12 malam. Dan waktunya tidak lebih dari 5 menit. Kau harus bergerak cepat. Ikatlah kedua tangan dan kakinya setelah kau melihat ada bayangan hitam berkelebat dari tubuh istrimu. Ikat dengan ranjang kuat-kuat. Dan untuk selebihnya nanti saya yang akan membereskan.”
“Hanya itu, Kyai?”
“Tidak.”
“Apalagi yang harus saya perbuat?”
“Demit Jimbe itu adalah sosok anak kecil. Untuk memancingnya keluar dari raga istrimu, kau harus nanggap topeng monyet.”
“Jam dua belas malam itu, Kyai?”
“Ya.”
“Tapi mana ada tukang topeng monyet di tengah malam seperti itu?”
“Nanti saya yang akan mencarikan. Kau tinggal memberinya ongkos dengan cara memasukkan uang sebanyak tiga puluh tiga ribu tiga ratus rupiah ke dalam kotak amal masjid yang tedekat dengan tempat tinggalmu.”